Home > Catatan Perjalanan > Hikayat dari Rumah Betang

Hikayat dari Rumah Betang

October 4th, 2009

Oleh Ahmad Yunus

Utih, 65 tahun, merapal sebuah hikayat. Wajahnya merunduk. Suaranya mendengung. Duduk bersila di atas selembar tikar. Kulitnya sudah layu. Wajahnya keriput. Rambutnya memutih karena usia. Nenek itu, memakai kaos putih yang sudah memudar.

Malam telah gelap gulita. Bulan tak tampak terang. Tertutup oleh gumpalan asap dari pembakaran lahan. Suara genset terdengar sayup-sayup. Dan cukup menerangi rumah panjang (Betang) yang dihuni sektiar 27 kepala keluarga suku Daya Desa, Sintang, Kalimantan Barat. Baru saja anak-anak dan perempuan masuk ke dalam kamar. Dan meninggalkan tontonan sinetron dari sebuah televisi berukuran 14 inchi. Lorong panjang sekitar 100 meter itu pun sepi. Beberapa ekor anjing pulas tertidur di luar.


Namun, saya tetap terjaga dan duduk melingkar bersama lelaki Dayak. Mendengarkan senandung hikayat itu. Rasanya hampir satu jam lebih. Nenek tua menyampaikan hikayat itu dengan bahasa Dayak. Saya tentu saja tak mengerti sedikit pun bahasa Dayak. Apalagi mentafsirkan setiap bait dari hikayat itu. Saya lahir di Bandung, Jawa Barat. Dan tumbuh di komunitas suku Sunda.

Namun saya tetap mendengarkan dengan khusyu’. Dan teringat pada masa kecil saya. Ketika mamah (ibu) sering membacakan cerita menjelang tidur. Terasa hangat dan menenangkan jiwa.
“Ini kisah tentang kasih sayang,” kata Sembai, 43 tahun. Sedikit tatto tergores pada lengan kanan. Ototnya tampak padat.

Nenek tua menceritakan satu dari sekian ratusan cerita. Malam itu, saya mendengarkan hikayat “Kumang Bekarong Bungur”. Suku Dayak merawat dan terus menyampaikan cerita itu secara turun menurun. Menumbuhkannya pada ingatan setiap anak Dayak. Tua menyampaikan pada yang muda. Dan muda menggantikan yang tua. Cerita kehidupan menjadi pengikat.

Malam itu, saya tidur di rumah betang. Sembai, menyediakan satu ruang beralas tikar. Ini satu-satunya rumah tradisional Dayak di Sintang yang masih berdiri. Rumah panggung dengan ketinggian sekitar dua meter. Rumah ini berbahan kayu. Lantainya dari papan. Dinding yang menjadi penyekat ruangan terbuat dari kulit kayu Jonger. Atapnya dari sirap. Tiang penyangga dari kayu Ulin.

Saya suka dengan rumah ini. Terasa sejuk. Angin dengan leluasa masuk dan menerpa kulit. Setiap keluarga mendapatkan jatah satu petak tempat tinggal. Isinya satu ruang dapur dan kamar kecil. Satu kamar tidur. Satu ruang tamu dan satu ruang untuk menyimpan perkakas dan barang-barang.

Suku Dayak tak menggunakan paku untuk mendirikan rumah panjang ini. Mereka mengikat setiap sudut dengan rotan. Atau menahan setiap penyangga dengan patok yang terbuat dari kayu.
“Rumah ini bisa bongkar pasang,” kata Sembai. Ia membawakan kami beberapa botol tuak untuk menghangat badan. Tuak ini terbuat dari beras ketan. Kadar alkoholnya tidak terlalu keras. Tidak seperti moke di Flores yang terbuat dari saripati Lontar maupun Enau.

Rumah ini berdiri tahun 1980. Dan tidak rapuh terkena rayap. Penyangganya masih kokoh menahan beban. Setiap aktivitas dilakukan di atas rumah. Termasuk untuk menggiling padi, menenun dan membuat anyam-anyaman.

“Dulu ada kesan kalau tinggal di rumah seperti ini terkesan kumuh, kotor dan terbelakang. Namun kami tetap mempertahankan tradisi ini,” katanya sambil menengak tuak.

Saya tak merasa risau ketika menginap di rumah ini. Kesan kotor dan kumuh tidak benar. Setiap pagi, perempuan di sini mengepel dan menyapu lantai. Hewan ternak, seperti ayam dan babi tak dibiarkan liar. Air bersih untuk minum tersedia. Di luar rumah ada satu kamar kecil dan bangunannya baru.

Setiap sore, warga di sini mandi di sungai yang tak jauh dari rumah panjang itu. Ada telaga yang airnya dingin sekali. Di bawah pohon-pohon yang rindang. Walau airnya keruh dan berwarna seperti air teh, namun tidak terasa bau dan gatal. Anak-anak, tua muda, laki maupun perempuan mandi di sini.

Saya tak ingin ketinggalan dan menyempatkan diri untuk menyeburkan badan di telaga itu. Segar sekali. Dan ini menyembuhkan rasa pegal setelah seharian dalam kendaraan. Sebelumnya saya menempuh perjalanan dari Pontianak menuju Sintang sekitar delapan jam. Dan dari Sintang menuju rumah panjang ini sekitar satu jam. Melalui perkebunan sawit, jalan aspal, hingga jalan tanah dan berdebu.

Dan paling menyedihkan, saya melihat satu keluarga tengah bergulat memadamkan api. Dan hampir melumat rumah mereka. Api ini datang dari pembakaran lahan. Api semakin besar dan melumat alang-alang yang kering.

Tuak dan perjalanan membuat rasa lelah datang lebih tiba. Malam itu saya tidur cukup pulas. Dan bangun pagi hari. Menyeruput kopi. Mendengar kokok ayam dan melihat anak-anak pergi ke sekolah. Tanpa sepatu dan hanya pakai sandal. Sayang, sinar matahari tak muncul terang. Asap dan awan menutupinya cukup tebal.

Pagi itu, lelaki Dayak sudah bergegas untuk pergi ke ladang. Membawa sebilah mandau, topi dan tas yang terbuat dari anyaman rotan. Saya ikut dan ingin melihat bagaimana mereka bekerja di ladang. Menyusuri kebun karet. Jalan setapak. Kiri kanan alang-alang. Hari itu, mereka hendak menanam padi. Ada ritual sendiri. Memotong satu ekor babi dan ayam. Dan kemudian membagikan benih-benih padi pada perempuan. Sementara lelaki memegang satu tongkat untuk melubangi tanah. Tanpa peptisida maupun pupuk kimia.

Pekerjaan ini mereka kerjakan sama-sama. Begitu juga ketika panen tiba. Tanahnya cukup luas sekitar satu hektar. Saya mengabadikan ritual penanaman padi ladang ini. Mereka bekerja dengan sederhana dan penuh suka cita. Membuat barisan seperti shaf dalam shalat Islam.

Kehidupan Dayak, menurut Yohanes Ganan, 52 tahun, tidak pernah terlepas dari keberadaan hutan. Hutan menjadi jantung bagi Dayak. Ganan adalah salahsatu warga yang tinggal di rumah panjang ini.

“Hutan di sini kita lindungi. Dan tidak boleh habis. Hutan menyediakan air bersih,” katanya. Masyarakat Dayak Desa melihat hutan di tempat lain telah habis dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Menurut mereka, sawit membuat lahan menjadi rusak. Air semakin lama semakin berkurang. “Kami menolak sawit”.

Selepas dari ladang, saya duduk dan membayangkan betapa cantiknya kehidupan di sini. Gotong royong menjadi basis kehidupan mereka. Kehidupan tumbuh berjalan alami. Cerita masa lampau menjadi cerminan agar hari esok menjadi lebih baik. Leony, 3 tahun, gadis kecil yang imut, menangis tersedu ketika saya hendak meninggalkan kampung ini. Melambaikan tangan dan berdoa agar kelak mereka tumbuh menjadi anak yang cerdas. Dan mencintai budaya dan kehidupan mereka yang harmoni dan lestari. ***

  1. October 5th, 2009 at 03:04 | #1

    Ceritanya menarik sekali, mas. Lama saya tak mendengar kabar orang-orang yang tinggal di rumah panjang ini.

    Musim hujan telah tiba. Semoga perjalanan ekspedisi ini tetap lancar sebagaimana yang telah direncanakan.

  2. Senja
    October 5th, 2009 at 04:06 | #2

    Dongeng “Kumang Bekarong Bungur”nya bikin penasaran. Dalam bahasa Dayakpun, meski tak tahu artinya, aku yakin itu pengantar tidur yang indah. Yang dapat mengantarkan mimpi pada Tuhan, sang Maha segala kasih. Selamat bermimpi anak-anak Nusantara, jangan lupa mewujudkannya.

  3. salman mardira
    October 6th, 2009 at 12:01 | #3

    Endingnya sungguh memukau.. salut bwt bang Yunus, salam bwt Mas Farid..

  1. No trackbacks yet.