Titik Hitam Natuna
Oleh Ahmad Yunus
Pulau Natuna terletak di bagian paling utara kepulauan Riau. Pulaunya eksotik. Pasirnya putih sepanjang pesisir pulau. Airnya jernih. Gunung Ranai yang hijau menghadap laut. Geliat warga terlihat di sepanjang pesisir. Khususnya di Ranai yang menjadi jantung ibukota pulau ini.
Pulau Natuna termasuk salahsatu pulau terluar Indonesia. Berbatasan dengan Malaysia di bagian barat dan timur. Pemerintahan Indonesia meletakan dua pangkalan militer di Ranai. Angkatan udara dan laut untuk menjaga Natuna dan kepulauan kecil lainnya. Seperti Pulau Laut, Pulau Midai, Sedanau maupun Pulau Tarempak.
“Di sini lebih banyak tentara ketimbang warganya,” kata Sayid Iksanudin, 52 tahun. Sayid, seorang penjual tirai dari Palembang. Dia jualan dari pulau ke pulau. Mulai dari Palembang hingga Pontianak di Kalimantan. Naik kapal kecil hingga kapal perintis.
Kesan Sayid beralasan. Memasuki Kota Ranai, langsung masuk dan melewati kawasan kompleks militer. Melalui pos penjagaan hingga melewati bandara kecil angkatan udara. Banyak slogan, seperti “No Change No Future” atau “Pengabdianku di Perbatasan”. Naik motor tak bisa cepat. Dan tak boleh menggunakan helm tertutup.
Tim Ekspedisi tiba di Pelabuhan Ranai pagi hari sekitar pukul 05.00. Angin laut terasa segar. Badan masih terasa lelah. Perjalanan dari Pulau Laut hingga Ranai agak berat. Angin laut kencang sekali. Hujan turun lebat. Udara terasa dingin. Naik kapal perintis, Terigas 5, tak seperti naik ferry sekalipun. Tidur di geladak dengan penuh barang bawaan. Mulai dari kerupuk, telur hingga beras.
Pelabuhan Ranai termasuk bangunan baru. Jalannya lebar dan beraspal. Tempat parkirnya luas. Aneh rasanya, di sini ada fasilitas akses internet gratis. Sepanjang pelabuhan yang kami lewati tak ada satu pun yang menyediakan fasilitas internet. Di sini koneksi internetnya masih sering putus. Farid Gaban mengecek internet menggunakan laptop. Saya cukup dengan telephone gengam saja.
“Ada penyewaan motor. Satu jam sekitar 10 ribu. Jalan saja ke ujung perkampungan itu,” kata seorang petugas pelabuhan.
Perkampungan ini dihuni sekitar 200 kepala keluarga. Rumah kayu berdiri di atas laut. Jembatan kecil dari papan kayu menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya. Jembatan ini cukup kuat menahan beban mobil. Toko makanan dan warung kopi berjejer rapi. Di ujung perkampungan ini terletak sebuah dermaga. Ini pelabuhan lama Ranai. Masih tampak kapal-kapal kayu berlabuh.
“Pelabuhan baru mengeruk pasir laut sampai kedalaman empat meter. Air laut jadi naik,” kata Ahong. Dia menjual barang kelontongan dan air galon. Juga menyewakan sepeda motor. Ahong lahir di pulau ini. Ia merasa, pembangunan Natuna belum memberikan berkah bagi warganya. Dari keberadaan pelabuhan baru hingga kekayaan Natuna soal gas.
“Kita masih sulit dapat air bersih. Padahal mata air di gunung masih banyak. Tapi pemerintah di sini tak juga pasang pipa air,” katanya. Sampai sekarang, warga mendapatkan air dari saluran pipa milik angkatan udara. Warga mengambil dengan jerigen. Pipa air tak tersambung hingga ke rumah warga.
Kami jalan menggunakan sepeda motor. Melihat Ranai, dari ujung komplek militer hingga melihat batu-batu besar yang berserakan di bibir pantai. Batu-batu ini tergolong vulkanik. Bongkahannya besar-besar. Kami takjub melihatnya. Alam meletakan batu-batu ini sempurna. Sedap dipandang mata.
Saya sempat berenang di antara batu-batu itu. Menyerupai kolam kecil. Pasirnya putih. Airnya biru muda. Sambil memandang pohon kelapa dan Gunung Ranai. Cantik sekali. Rasanya, keelokan pulau ini lebih sedap ketimbang Bali. Sepi, tak banyak pengunjung. Bisa jadi, ini karena masalah akses dan pengembangan pariwisata yang belum serius.
Akses untuk berkunjung ke Ranai tak mudah. Dari Malaysia malah jauh lebih dekat ketimbang dari Jakarta atau Bali. Akses paling gampang naik pesawat kecil dari Tanjung Pinang, Pulau Bintan. Kalau naik kapal, bisa tiga hari tiga malam, berkemah di atas geladak kapal.
“Kalau musim utara, Ranai jauh lebih berat lagi. Stock beras harus tambah,” kata Ahong. Kapal-kapal merapat. Ombak di laut lepas China Selatan mengamuk. Ini terjadi antara bulan Oktober hingga Februari. Warga, bisa makan ubi dan singkong. Kalau cuaca buruk, stok makanan diterbangkan menggunakan pesawat milik angkatan udara.
Ranai seperti kebanyakan pulau-pulau kecil lainnya. Sangat tergantung dengan keberadaan kota-kota besar di Sumatera, Jawa maupun Kalimantan. Barang sehari-hari mulai dari beras, gula, terigu hingga telur didatangkan dari luar Ranai. Padahal pulau ini tergolong subur. Namun, tanahnya tak menghasilkan sayuran maupun beras. Kebanyakan warganya bekerja sebagai nelayan, pegawai negeri dan pedagang.
Kota Ranai jauh lebih hidup ketimbang tujuh pulau lainnya di wilayah Kabupaten Anambas maupun Natuna. Seperti Pulau Terempak, Midai, Pulau Laut, Pulau Subi, misalnya. Di sini tak ada kawasan industri, Namun Ranai bisa menjadi salahsatu kabupaten terkaya. Bahkan untuk ukuran kabupaten di Indonesia. Ini karena keberadaan eksplorasi gas di laut lepasnya. Pulau ini termasuk salahsatu penghasil gas terbesar di dunia. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Natuna mencapai 1,7 triliun.
“Natuna memang kaya. Tapi tetap saja kami miskin,” kata Rahmi. Seorang warga tinggal di Kampung Batu Kapal, Natuna. Rumahnya terbuat dari papan kayu. Berdiri di atas air laut. Belakang batu besar yang menyerupai hidung kapal.
Warga bekerja menambang batu alam sebagai sampingan. Mereka memecahkan batu itu menjadi dadu kecil (koral) untuk keperluan beton. Warga mendapatkan tambahan pendapatan. Satu rit senilai 500 ribu. Kebanyakan warga di sini bekerja sebagai nelayan. Mereka menjual ikan murah sekali. Satu ikat ikan laut-terdiri 8 hingga 10 ekor- seharga 10 ribu!
Warga tak punya pilihan untuk menambah pendapatannya. Padahal harga kebutuhan sehari-hari di sini tergolong mahal. Keberadaan batu-batu alam yang eksotik itu menjadi sasaran. Kami sempat melihat satu lokasi penambangan. Becho besar mengeruk tanah untuk mendapatkan bongkahan batu-batu itu.
Menyisakan sisa dan keterancaman kerusakan lingkungan. Satu sisi bukit habis. Bagian sisi lain masih hijau dan bergeletakan batu-batu. Dari atas bukit ini bisa melihat Ranai dan kecantikan alam pesisir Pulau Natuna.
Ada satu sampan kecil yang menarik perhatian saya. Ujungnya lancip. Warna catnya serasi. Ada merah, biru, putih dan hitam. Sedikit ukiran mempercantik lancip sampan itu. Nama sampan ini, Kole. Ini sampan tradisional khas Natuna. Saya bertemu dengan maestro pembat Kole. Namanya, Amar Kandul. Usianya 63 tahun. Ia mendapatkan ilmu membuat Kole dari ayah dan kakeknya.
“Kalau mau mendapatkan uang, bikin saja Kole,” ingatnya. Dari usia 20 tahun ia bekerja untuk membuat sampan ini. Mencari kayu dari hutan. Dan kemudian memahat dan membentuknya menjadi Kole yang cantik itu.
Saat ini, Amar tengah menyelesaikan sebuah perahu. Panjangnya sekitar 15 meter. Lebarnya sekitar 2.5 meter. Dia menghaluskan sebilah papan kayu.
“Saya bekerja sendirian saja. Ini pekerjaan orang susah. Kalau orang kaya, mana mau bekerja seperti ini. Kesenangan itu bersembunyi dalam kesusahan,” katanya.
Proses pembuatan perahu ini bisa selesai dalam waktu dua bulan. Harganya sekitar 15 juta. Ini tergolong murah. Tak mudah mendapatkan kayu yang bagus untuk perahu. Kayunya harus tahan rayap dan kuat menahan lapuk. Pohon-pohon yang ada di Gunung Ranai tak boleh ditebang. Dari pengerjaan perahu ini, ia mendapatkan pendapatan bersih sebesar 5 juta.
“Saya tak menurunkan ilmu pembuatan perahu ini pada anak saya. Tak ada yang berbakat dan saya larang,” katanya.
Usia Amar sudah tua. Dia melihat tak ada penerus yang tertarik dalam pembuatan perahu. Ini menyedihkan, padahal Kole menjadi ikon pemerintahan Natuna. Lambat laun kearifan lokal masyarakat Natuna hilang. Tak ada yang merawat.
Saya tertegun melihat Masjid Raya Natuna. Masjid ini besar sekali. Desainnya bergaya Melayu. Namun ada ornamen Arab. Pintunya melengkung. Ada empat menara menusuk langit. Lantainya keramik. Kesannya, mewah sekali. Ada gedung sekolah tinggi Islam. Gedung komersil dan asrama haji. Sekilas mirip Taj Mahal.
“Masih ada pembangunan tahap kedua,” celetuk seorang petugas pembersih yang bekerja di lorong menara.
Namun, keberadaan masjid sebesar ini meninggalkan keganjilan bagi saya. Terlalu besar dan mewah. Sepertinya masyarakat di Ranai belum memerlukan masjid seluas itu. Menurut warga, pembangunan masjid ini mencapai 800 miliar. Dan selesai dalam waktu dua tahun.
Kontraktornya dari Jakarta. Nama proyek ini, “Natuna Gerbang Utaraku”. Pekerja masjid kebanyakan didatangkan dari Jawa. Termasuk materialnya. Mulai dari tiang-tiang beton, keramik, semen, hingga rumput!
Betapa mahalnya, harga sebuah masjid di kota kecil macam, Ranai ini. Warga masih kesulitan mendapatkan air bersih. Transportasi laut yang layak dan nyaman. Menumbuhkan ekonomi masyarakat lokal. Maupun mendapatkan perumahan rakyat yang sehat. Rasanya, kekayaan alam dan ladang gas di Natuna belum menjadi berkah bagi masyarakatnya. Masih jauh, rasanya. ***
Senang sekali saya bisa berkunjungi ke blog ini, setelah mendapatkan informasi dari milis Jurnalisme yang saya ikuti. Saya mendapatkan informasi banyak. Termasuk soal Natuna ini. Seperti sedang “Melihat dari dekat”. Yang saya tahu, Natuna memang pulau kaya gas. Saya tahu dari temen2 saya yang memang ada yang pernah bekerja di perusahaan eksplorasi migas dan pernah ditempatkan di Natuna. Kasihan sekali ya, daerah yang kaya sumber daya alam, tapi ternyata banyak warga di sekitarnya tetap hidup miskin. Semoga ke depannya ada perubahan yang signifikan untuk menjadi lebih baik bagi kehidupan mereka.
Masjidnya great
penduduknya memenuhi majid kah?
pengen kesana