Bermalam di Rumah Bapak Republik
Oleh: Ahmad Yunus
Desa Pandan Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat terletak dibawah sebuah lembah. Desanya sangat subur. Pohon kelapa, pinang, cengkeh, hingga sawah tumbuh baik. Air sungai mengalir jernih. Udaranya sangat sejuk. Bukit hijau tampak mengelilingi desa ini. Dari Bukittinggi ke Pandan Gadang jaraknya sekitar 50 kilometer.
Pandan Gadang adalah desa masa kecilnya Ibrahim. Bocah kecil yang gemar mengaji di Surau Jami. Ibrahim juga terkenal jago silat. Pada masa sekolah di Bukittinggi, prestasi belajarnya mengagumkan. Guru ngajinya, warga desa hingga Belanda kagum karena kecerdasannya. Ia melanjutkan sekolahnya hingga ke Negeri Belanda.
“Ongkosnya patungan. Semua warga memberikan sumbangan,” kata Indra Ibnur Ikatama Irvan, 41 tahun. Ia menenteng sebuah ember yang isinya pelet untuk pakan ikan. Angin berhembus pelan. Seekor kerbau asyik memakan rumput liar yang tumbuh di tepi kolam ikan.
Ia mengajak kami masuk ke rumahnya. Rumah panggung kayu dengan gaya khas adat Minangkabau. Ukurannya sekitar 8 x 20 meter persegi. Atapnya meruncing ke atas mirip tanduk kerbau. Ruangan terasa teduh. Angin masuk leluasa pada jendela-jendelanya yang lebar. Di sudut ruangan, foto dan poster Ibrahim tergeletak. Buku-buku tentang dirinya, penelitian hingga catatan-catatan pribadinya disimpan dalam kotak kaca.
“Ini masih dalam perbaikan. Rumah ini lagi kita rehab. Nanti ada perpustakaan dan museum,” katanya.
Rumah ini berdiri di penghujung abad ke 18. Kayunya mulai lapuk. Indra mengganti dengan kayu baru untuk menopang bangunan hingga atapnya. Namanya, Kayu Suriyan yang banyak tumbuh di hutan sekitar Pandan Gadang. Kayu ini tergolong tahan air. Ibrahim kecil tinggal disini hingga menginjak dewasa.
Kelak, Ibrahim menjadi sosok yang sangat penting bagi Indonesia. Pergulatan, pemikiran hingga perjuangannya melahirkan perdebatan, polemik sekaligus menjelma menjadi sebuah legenda. Namun siapakah sosok Ibrahim sebenarnya?
Harry A Pooze, peneliti dari Belanda mengurai jejak hidup Ibrahim. Ia merangkai catatan, melakukan riset, wawancara hingga memotret setiap jejak persinggahan Ibrahim. Termasuk melacak tempat eksekusi Ibrahim. Pooze melakukan penelitian hingga 21 tahun. Dan kemudian melahirkan tiga jilid buku tentang sosok Ibrahim.
“Pooze awalnya tahu tentang Ibrahim dari orangtuanya. Katanya, ada seorang anak Indonesia yang sangat cerdas,” kata Indra. Ibrahim sempat menjadi anak kost di tempat tinggal orangtua Pooze di Belanda.
“Pooze sudah seperti keluarga sendiri. Ia suka sekali dengan rendang,” katanya sambil tersenyum. Ia ingat, Pooze datang ke rumahnya sekitar tahun 1974. Waktu itu, Ia masih duduk di kelas satu sekolah dasar.
“Tak ada bukti bahwa Ia seorang komunis,” kata Indra sengak.
Kami melihat foto Ibrahim muda. Termasuk ketika Ibrahim berjalan dengan Soekarno di Lapangan Ikada. Foto-foto ini sebagian besar adalah koleksi dari Pooze. Tak banyak potret yang tersisa. Tuduhan komunis, memaksa untuk melenyapkan potret-potret Ibrahim.
Indra membawa kelapa muda. Airnya segar sekali. Lantas, Ia mengajak saya untuk memancing ikan di kolam. Kolam sekaligus tempat mandi.
Menjelang sore, kami naik motor dan menuju Koto Tinggi. Lokasinya tak jauh dari Padang Gadang. Koto Tinggi adalah ibukota PDRI atau Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang terbentuk pada tahun 1948. Soekarno dan Hatta memberikan mandat kepada Syafroedin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan. Waktu itu, Belanda telah mengepung Jawa. Soekarno dan Hatta terdesak hingga ke Jogjakarta.
Tak banyak kejayaan yang terlihat di Koto Tinggi. Apalagi membayangkan kondisi ibukotanya semegah Jakarta. Nasib Koto Tinggi hanya menjadi areal kantor kecamatan dan pasar tradisional. Sebuah tugu kusam menjadi penanda PDRI. Rumput tumbuh liar.
Kantor pusat pemerintahan PDRI mirip pos penjaga lintasan kereta api. Hanya ada dua ruangan. Satu meja dan kursi plastik. Beberapa foto lukisan menggantung; H. Agus Salim dan Syafroedin Prawiranegara. Beberapa lembar triplek yang isinya tentang mandat pembentukan pemerintahan darurat. Juga struktur pemerintahan PDRI. Menteri-menterinya tinggal disini. Kecuali orang-orang dari Jawa, seperti Jenderal Sudirman.
“Di sini banyak melahirkan pejuang. Bahkan 11 warga disini mati ketika melawan Belanda. Melawan dengan bambu runcing dan parang. Tapi Koto Tinggi sudah dilupakan. Sejarah milik penguasa, ” kata Triyonghi, pengurus Yayasan PDRI.
Kami tertegun melihat nasib Koto Tinggi. Hujan turun rintik-rintik. Kabut mulai menutupi puncak bukit.
Indra telah menyiapkan gulai ikan. Nasi hangat. Enak sekali. Kami lahap memakannya. Ia jago memasak makanan Padang. Bahkan, Ia sempat berdagang keliling nasi Padang. Harry A Pooze salahsatu penggemar berat masakannya. Udara malam terasa menusuk kulit.
Saya, Farid Gaban dan Indra ngobrol santai hingga larut malam. Bicara tentang Pooze, biaya perbaikan rumah gadang, nasib Koto Tinggi, Padang Gadang, juga tentang impian-impian Ibrahim.
Indra sudah jatuh hati dengan desa ini. Ia akan merawat pemikiran Ibrahim. Membangun museum dan perpustakaan. Kelak, Ia ingin warga Desa Padang Gadang melahirkan sosok seperti Ibrahim. Sosok manusia yang cerdas dan merdeka.
Saya mengenal Ibrahim melalui buku dan catatan perjalanannya. Dari penjara ke penjara hingga Madilog. Sebuah buku yang merumuskan tentang konsep materialisme, dialetika dan logika. Majalah Tempo bahkan pernah menurunkan satu laporan khusus tentang pemikiran dan pergulatannya.
Ibrahim menjadi legenda. Walau di penghujung hidupnya Ia mati tragis ditembak tentara Republik Indonesia. Soekarno menyebutnya “Bapak Republik”.
“Suaraku akan lebih keras walau sudah dalam kubur,” kata Ibrahim. Bocah kecil dari desa Padang Gadang itu adalah Tan Malaka.***
Suara Anda