Melihat Indonesia dari Bukit Tinggi
Oleh Ahmad Yunus
Perjalanan dari Danau Maninjau menuju Bukit Tinggi seperti liukan ular. Jalannya berkelak kelok Tikungannya tajam dan menanjak. Kondisi aspalnya relatif bagus. Jalannya mulus dan tidak berlubang. Jalan ini terkenal dengan kelok 44.
Dari atas jalan, terlihat Maninjau yang tenang. Dan pemukiman warga yang rapi. Kabut Senin (6/7) pagi hari masih tampak menggantung di atas barisan bukit yang hijau. Rombongan monyet terlihat duduk di pinggir jalan.
Tanjakan ini cukup berat. Laju motor tidak bisa kencang. Perseneling motor antara gigi satu dan dua. Kami harus hati-hati juga dengan kendaraan yang datang dari arah berlawan. Jalannya tidak cukup lebar. Setiap tikungan kami mesti awas. Kendaraan seperti mobil dan truk makan jalan cukup lebar ketika hendak membelok.
Namun, perjalanan ini-sekali lagi-sangat mengasyikan. Udaranya sejuk. Kiri kanan banyak sawah yang menguning. Rumah khas Minangkabau masih banyak. Dari Danau Maninjau ke Bukit Tinggi sekitar satu setengah jam.
Jam Gadang adalah salah satu ikon kota Bukit Tinggi. Letaknya persis di jantung kota dan terletak di depan Istana Hatta. Jam ini merupakan hadiah dari Belanda. Jam ini memiliki keunikan. Karena ada kesalahan penulisan angka empat Romawi. Di sana, angka tiga berjumlah dua kali.
Banyak warga yang kongkow dan menghabiskan waktu liburannya di Bukit Tinggi. Udaranya sangat sejuk. Ini mengingatkan saya seperti di daerah Lembang, Bandung. Atau Puncak di Bogor, Jawa Barat.
Bukit Tinggi tak hanya cantik dengan alamnya. Namun, Bukit Tinggi merupakan salahsatu kota yang memiliki sejarah penting dalam membentuk Indonesia. Di sini banyak melahirkan kalangan intelektual macam Hatta, Sjahrir, Muhammad Natsir, Buya Hamka, Syafroedin Prawiranegara hingga Tan Malaka.
Mereka melahirkan banyak pemikiran, konsep, gagasan, pandangan dan perdebatan tentang Indonesia. Intelektual dari kalangan nasionalis maupun agama dari Bangsa Minangkabau ini memberikan warna yang berbeda. Seperti kebanyakan intelektual yang datang dari Jawa seperti Soekarno, misalnya.
Tak jarang, karena munculnya perbedaan pandangan, ideologi dan strategi perjuangan membuat perdebatan tentang kemerdekaan hingga merumuskan konsep Indonesia menjadi perselisihan yang keras dan tajam. Perdebatan ini berlangsung antara dekade tahun 1930′an (pra kemerdekaan Indonesia) hingga paska kemerdekaan. Ada yang tersisih, terhempas dan ada juga yang melahirkan sejarahnya sendiri.
“Mati ditembak moncong bedil bangsa sendiri,” kata Samsir Mohammad menjelaskan tajamnya perselisihan itu. Seorang sahabat dekat yang meninggal, Jumat (26/6/09) di Bandung. Ia berusia 84 tahun dan terlibat dalam masa kemerdekaan hingga tahun dekade tahun 1960′an.
Saya melihat ke jendela luar di Hotel Jogja. Jalanan ramai oleh kendaraan. Banyak penjual makanan. Hotel ini tak jauh dari Istana Hatta. Apa makna dari perjuangan dan pengorbanan mereka atas kemerdekaan Indonesia saat ini? Jakarta rasanya begitu gaduh dengan kampanye politik pemilihan umum presiden.
Istana Hatta yang menyimpan koleksi bacaan Bung Hatta tak banyak yang melirik. Kalah ramainya oleh mall Ramayana beberapa meter dari istana itu. Lambaian patung Bung Hatta yang menyapa entah kepada siapa. Orang tak banyak yang tahu lagi tentang siapa Tan Malaka. Sekali lagi, sejarah melahirkan kisah ceritanya sendiri yang kemudian lapuk oleh zamannya.
ck..ck..ck…asik bgt!!!!
asik bgt sobat..
pngen mencoba ath ikut…
wow
saya mengikuti dr awal sebatas tulisan Mas farid gaban yg ada di milis jurnalisme. setelah melihat web zamrud ini, hanya bisa berucap “subhanallah”.
teknik reportase yang menakjubkan. ini buah dari mimpi yang luar biasa. mg mas Yunus dan mas FG diberikan kemudahan dan kelancaran menuntaskan ekspedisi, shg pembaca mendapatkan suguhan wajah Indonesia yg up to date
bravo ..