Home > Catatan Perjalanan > Yunus Gagal Mendapat Tato Mentawai

Yunus Gagal Mendapat Tato Mentawai

Oleh Farid Gaban

Impian Ahmad Yunus belum terwujud. Ketika sampan kami tenggelam di Muara Siberut, Mentawai, pekan lalu, kami sedang dalam perjalanan menuju sebuah desa pedalaman Mentawai. Simatalu adalah desa paling jauh ke pedalaman dan paling jarang dikunjungi orang luar.

Yunus bermimpi bisa memperoleh tato Mentawai-kabarnya seni tato tertua di dunia ada di sini. Saya hanya bermimpi bisa mencoba makan sagu (tanpa ulat hutan), makanan pokok di sini, dan makan durian sebanyak-banyaknya.

Banyak pohon durian di desa itu, yang sekaligus merupakan makam di masa lalu. Sampai tahun 1960-an, mereka yang meninggal akan digantung ke pohon durian sampai jasadnya kering.

Tato bagi Yunus dan durian bagi saya mungkin harga yang sepadan untuk susah payah naik sampan, menyusuri sungai ke hulu dan jalan kaki satu-setengah hari sebelum mencapai Simatalu. Tadinya kami pikir begitu.

Tapi, ombak lautlah yang menumpas impian kami. Kami harus keluar dari sebuah muara Sungai Siberut ke muara Sungai Simatalu lewat laut (jalan darat di sini tak ada). Dan ombak agak besar, menumpahkan air laut ke sampan sebelum menenggelamkannya. Kami selamat tapi sebagian besar peralatan masuk ke air, dan kecil kemungkinan bisa dipakai lagi.

Tanpa peralatan, kami memutuskan batal ke pedalaman dan secepat mungkin ke Padang, meski ternyata baru tiga hari kemudian bisa mencapai Padang, menunggu badai reda.

Kini kami ada di Padang. Kami sedang menunggu peralatan baru dari Jakarta sebelum melanjutkan ekpsedisi ke bagian utara Sumatra, ke Nias, Simeuleu dan Banda Aceh.

Bagaimanapun Mentawai tidak akan kami lupakan. Yunus dan saya berharap bisa kembali ke sini tahun depan setelah menyelesaikan keliling Indonesia. InsyaAllah. Mentawai terlalu menarik untuk diabaikan.

Mentawai adalah Galapagos-nya Indonesia. Sejak puluhan tahun lalu, antropolog, biolog dan botanis asing datang ke sini meneliti kekhasan flora-fauna dan budaya di sini, sama seperti Charles Darwin mengkaji Kepulauan Galapagos untuk merumuskan teori evolusinya. Mentawai sangat khas karena kabarnya terpisah dari daratan Sumatra setengah juta lalu. Kini, kepulauan ini juga menjadi salah satu surga peselancar terbaik di dunia.

Alamnya juga indah, yang benar-benar kami nikmati selama tiga hari menunggu badai reda. Untuk cepat ke Padang kami memilih sebuah kapal pengangkut rotan yang semestinya berangkat hari Minggu, ketimbang kapal feri yang baru datang sepekan kemudian. Motor kami sudah diikat ke kapal, dan siap berangkat tapi tiba-tiba langit mendung membawa badai. Dari radio kapal kami mendengar kapal-kapal nelayan besar pun sedang berlarian merapat ke dermaga karena ada badai besar di Selat Mentawai. Kami akhirnya harus menginap dua hari lagi di Siberut.

Menginap lebih lama artinya menghabiskan uang lebih banyak, paling tidak untuk makan dan rokok. Kami kehabisan uang tunai, dan tidak ada ATM di sini. Dasar nasib. Peralatan rusak, uang tunai habis, terjebak dalam badai yang entah kapan akan reda.

Tapi, saya bersyukur menemukan teman seperti Yunus, yang membuat kami bukannya sedih melainkan menikmati benar pulau ini, atau menikmati apa saja hal-hal sederhana.

Siang hari kami berjalan kaki ke dermaga, sambil menengok apakah kapal bisa berangkat. Ketika awak kapal bilang “Tidak sekarang, mungkin besok,” kami akan duduk di warung kopi, bermain catur dan punya kesempatan nonton televisi secara lebih seksama, yang hampir dua pekan di Enggano dan Mentawai Selatan tidak kami nikmati.

Hiburan terbesar adalah ketika Stasiun RCTI menggelar siaran investigasinya yang terkenal, membahas soal-soal paling serius di republik ini: polemik video ciuman Pasha-Alysa Soebandono yang dibahas secara tajam, setajam silet, oleh Roy Suryo!

Hiburan lain: mandi di laut. Tapi, saya kehilangan selera snorkelling karena kamera bawah air tak bisa dipakai.

Karena tak punya uang, kami nebeng di tempat kos Edris T Sagalak, siswa SMA asal Simatalu, yang mengajak kami mengunjungi desanya di pedalaman. Tempat kos sederhanya ini berdinding kayu dan beratap daun pandan, tapi letaknya sangat menyenangkan, persis di sebuah teluk yang menghadap ke cakrawala tempat matahari terbit. Dua hari kami menikmati matahari jingga secara utuh naik dari laut, pemandangan yang bertahun-tahun tidak pernah saya nikmati.

Satu hal lain yang menyenangkan dari Yunus: dia pintar memasak. Tapi, karena uang tunai tinggal ribuan, Yunus hanya bisa membeli bawang, cabe dan ikan teri asin. Dia bikin nasi goreng. Dan, saya kira ini salah satu nasi goreng paling lezat yang pernah saya nikmati. Setelah makan, kami mencari pencuci mulut yang tidak kalah nikmatnya: kelapa muda yang tumbuh dekat pasir pantai.

Simply beautiful dan menyenangkan. Jika kita bisa gratis menikmati nasi goreng, ikan asin, kelapa muda, teluk, pasir, karang, laut, matahari, bulan dan bintang-bintang, apa gunanya uang tunai?

Ketika badai reda pada Selasa, kami meninggalkan Siberut dalam cuaca cerah. Hanya sepuluh orang penumpang termasuk awak, lainnya rotan, drum bensin dan motor kami. Laut sangat bersahabat, ombak tidak besar, bahkan seperti hamparan karpet biru layaknya.

Sempat kami lihat ikan lumba-lumba kecil berlompatan hampir di sepanjang pelayaran. Tapi hiburan utama saya adalah menikmati ikan terbang yang berlompatan menjauhi badan kapal. Ikan sebesar ibu jari orang dewasa ini punya sirip agak lebar yang juga berfungsi sebagai sayap. Mengambang beberapa sentimeter dari permukaan air, ikan-ikan ini bisa terbang sampai sekitar 50 meter.

Senja mulai datang sebelum kami masuk Padang. Yunus kembali menunjukkan keahliannya memasak nasi goreng dibantu para awak kapal. Kami makan di atap kapal sambil menikmati matahari tenggelam dari arah buritan kapal kami.***

  1. July 2nd, 2009 at 13:03 | #1

    Tato mentawai katanya memang eksotis, bang. saya ngerti dari bukunya ES ITO “Rahasia Meede”.
    Kapan-kapan saya ke sana juga ah.
    ^^

  2. Abang-Kunto
    July 2nd, 2009 at 22:50 | #2

    Wah..wah saya terkagum2 baca tulisan om FG….. seperti impian rasanya….
    mungkin suatu saat saya bisa menikmati perjalanan seperti ini….
    GOOD LUCK GUY’s

  3. vy snoopy
    July 4th, 2009 at 05:36 | #3

    wuih sempat hilang kabar, rupanya perjalanannya begitu mengesankan…bawa oleh2nya pasti okeh juga ya?

  4. achie
    July 5th, 2009 at 10:22 | #4

    waduh… pantas susah bgt di hubungi. ternyata… lg uji survival yach.
    d tunggu dech cerita lengkapnya… hehe

  5. Bina Karos
    July 6th, 2009 at 13:50 | #5

    Pengalaman bertahan hidup di alam (seperti cerita Bg Farid; kebahagian didapat tanpa uang tunai), adalah pengalaman yang tidak semua orang pernah merasakan. Bg Farid dan pa cik Yunus; Jaga kondisi, agar perjalanannya mengalir terus tanpa hambatan.

  6. alif
    July 6th, 2009 at 22:51 | #6

    wah…sudah seperti Christopher McCandless, ya Pak?
    Semoga perlindungan, pemeliharaan, dan perawatan Allah selalu menyertai Bapak…

    “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-NYA. Dan hanya kepada-NYAlah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS 67: 15)

  7. dewi
    July 9th, 2009 at 06:31 | #7

    Membaca artikel FG yang ini, lebih segar dari pada membaca EDENSORnya Andrea Hirata. Kayaknya asyik banget tuh Bang, kalau di NOVELkan! Akan lebih asyik lagi kalo dibikinnya untuk cerita anak-anak! Inspiring people banget!

  1. No trackbacks yet.