Mengejar Pelangi Kepulauan Nusantara
Posted by in CatatanOleh Farid Gaban
[Bagian 4 dari empat tulisan pengantar buku "Indonesia: Mencintaimu dengan Sederhana"]
Bagian 3: Sepeda Motor Bekas di Emper Warung
Bagian 1: Anak Gunung Menjelajah Laut
Kami menyebut perjalanan kami sebuah ekspedisi, Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, dengan tujuan utama mengagumi dan menyelami Indonesia sebagai negeri kepulauan dan negeri bahari. Serta melaporkannya dalam bentuk buku dan video dokumenter.
Sama sederhananya dengan peralatan dan metode perjalanan kami, gagasan berkeliling Indonesia ini juga berawal dari pikiran sederhana. Sebagian dipicu oleh rasa bersalah.
Menjadi wartawan sekitar 25 tahun, saya telah meliput banyak tema internasional. Pada 1988, saya meliput pemilihan Presiden Amerika Serikat dan berkeliling negeri itu dari New York dan Washington DC sampai Los Angeles dan San Francisco, dari Boston, Chicago, Dallas, Orlando hingga New Orleans. Dua tahun kemudian berkeliling Jerman, tidur dari stasiun ke stasiun dari Munich, Dusseldoff, Bonn, Hamburg dan Berlin, untuk meliput implikasi politik setalah runtuhnya Tembok Berlin. Ketika pecah Perang Bosnia, pada 1992, saya salah satu dari sedikit wartawan Asia yang menembus blokade Sarajevo. Tapi, mengesampingkan pengalaman internasional itu, saya merasa hanya tahu sedikit tentang Indonesia, negeri besar di halaman rumah sendiri. Terlalu sedikit.
Itu sebabnya, saya senang ketika pada 2008 beberapa teman mengajak bergabung dalam sebuah rencana ekspedisi keliling Kepulauan Indonesia dengan naik kapal tradisional phinisi. Saya begitu bersemangat, tapi rencana itu terkatung-katung sampai kemudian secara bergurau saya mengatakan akan naik sepeda motor keliling Indonesia jika rencana itu gagal.
Rencana besar itu akhirnya benar-benar gagal karena kurang sponsor. Tapi, haruskah uang atau biaya menjadi kendala? Bagaimana kalau naik sepeda motor, lebih ringkas dan lebih murah? Bagaimana pula jika untuk menghemat biaya, kita membawa tenda dan kantong tidur, backpacking, dan menginap di rumah-rumah nelayan, berlayar bersama mereka?
Pada awalnya, ini seperti sebuah ide gila. Tapi, kenapa tidak? Sepeda motor bukan benda asing bagi saya. Hampir setiap hari di Jakarta saya naik sepeda motor yang murah dan anti-macet. Dan saya pikir, jika kita bisa menanggung kesulitan menyusuri jalanan Jakarta yang brutal, apa lagi yang kita takutkan di luar sana?
Hidup dan bertualang di alam juga bukan hal baru bagi saya. Lahir dan tumbuh di pedalaman Jawa, saya suka naik gunung ketika remaja. Bersama teman sebaya, saya senang membuat gubug jerami kapan saja musim panen tiba. Memancing dan mandi di sungai-sungai pegunungan yang jernih, menyusuri hutan pinus dan akasia, berburu dan menikmati buah liar di pematang sawah, adalah sebagian dari kenangan paling berkesan tentang masa kecil.
Apa yang harus kami takutkan untuk bisa menikmati kembali hidup di alam, di tempat-tempat terjauh, meninggalkan kehidupan kota yang riuh?
Kami suka film “Into The Wild” (2007) yang disutradari Sean Penn. Film ini diangkat dari kisah nyata Christopher McCandless, seorang mahasiswa Amerika yang pintar dan datang dari keluarga kaya, tapi memutuskan membuang semua benda miliknya, uang, mobil dan bahkan identitas pribadinya, lalu berkelana dan hidup menggelandang ke Alaska, tempat dia menemukan ajalnya. McCandless mencampakkan kehidupan modern yang dinilainya hipokrit untuk menemukan kedamaian dalam hidup primitif di alam.
Kesulitan hidup yang dihadapi McCandless dalam pengembaraannya tidaklah seberapa dibanding kesulitan yang belakangan kami saksikan dihadapi sehari-hari para nelayan kepulauan Indonesia, atau bahkan tidak sebanding dengan kehidupan sulit pedesaan waktu saya kecil. Tapi, McCandless adalah pahlawan untuk satu hal yang mudah dikatakan namun sulit dilakukan banyak orang: yakni melepaskan ego “somebody” dan memilih lenyap melebur menjadi “nobody”.
Jika McCandless bisa melakukannya kenapa kita tidak, meski motif utama kita barangkali bukan membenci segaka bentuk kehidupan modern?
Inspirasi lain datang dari pengembaraan Ernesto Che Guevara, ikon pejuang Marxist yang masih harum namanya sampai sekarang, puluhan tahun setelah kematiannya. Melalui film “The Motorcycle Diaries”, kita bisa melihat Che Guevara, bersama Alberto Granado, mengarungi jarak 8.000 km bersepeda motor melintasi Amerika Latin. Perjalanan itu memperkenalkan dia kepada kemiskinan dan penderitaan rakyat banyak yang belakangan mentransformasikan dirinya; dari seorang mahasiswa anak-mami menjadi pejuang revolusioner yang mengguncang dunia.
Kami berdua bukan Che Guevara. Saya setidaknya sudah terlalu tua untuk berkeinginan menjadi revolusioner. Sementara tentang kemiskinan di Indonesia, kami sudah melihatnya di banyak tempat bahkan di Jawa, atau membacanya dari banyak studi-studi literatur tentang masalah pembangunan. Tapi, “The Motorcycle Diaries” memperkuat keyakinan kami tentang metode perjalanan yang bisa dilakukan, justru karena kesederhanannya: bersepeda motor, backpacking, mengenal banyak orang dan problem-problem nyata mereka.
Kami juga menyukai bacaan tentang petualang-petualang dunia, seperti Marcopolo. Atau Ibn Battuta, pengelana Muslim Abad ke-14. Battuta mengembara selama 30 tahun mengunjungi negeri-negeri jauh di Afrika, hingga India di Asia Selatan dan China di Asia Timur. Dia menulis buku “Ar- Rihla” (atau Perjalanan) yang tak akan pernah bosan kita baca.
Tapi, inspirasi terbesar dan terkuat untuk Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa datang dari dua buku yang terakhir kami baca: “Mengejar Pelangi Di Balik Gelombang” karya Fazham Fadlil dan “The Malay Archipelago” karya Alfred Russel Wallace.
Seperti McCandless dalam “Into The Wild”, Fazham Fadlil mencampakkan kehidupan nyaman 20 tahun di New York, untuk kembali ke kampung halamannya, di Kepulauan Riau, menggunakan kapal layar kecil melintasi Samudra Pasifik. Sendirian saja!
Jika kita ingin meyakinkan diri bahwa “nenek-moyang kita bangsa pelaut”, Fadlil mungkin satu dari sedikit saja bukti dan pewaris sah dari ungkapan itu yang masih hidup kini. Pengetahuan dia tentang kapal, navigasi laut, keberanian dan fisolofinya tentang laut memperkuat motivasi kami, anak-anak gunung, untuk menggali pengetahuan lebih banyak tentang laut Kepulauan Nusantara.
“Kepulauan Nusantara” adalah judul buku terjemahan karya Alfred Wallace (1823-1913), seorang pengamat alam asal Inggris. Judul asli buku itu “The Malay Archipelago”, terbit pertama kali 140 tahun lalu, dan terus diterbitkan hingga sekarang, menjadikannya salah satu buku klasik terpenting. Buku itu merupakan buah perjalanan Wallace selama delapan tahun mengunjungi pulau-pulau Indonesia seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan (Borneo), Sulawesi, Maluku dan Papua. Tak berlebihan menyebut buku ini buku terpenting tentang sejarah alam dan manusia Nusantara yang paling lengkap sampai sekarang.
Dikenal sebagai bio-geografer, Wallace mengumpulkan dan mengawetkan contoh flora-fauna dari pulau-pulau yang ia kunjungi. Dari situ Wallace antara lain menyimpulkan adanya perbedaan nyata ciri-ciri fauna dan manusia di barat dan timur Indonesia, yang dipisahkan oleh sebuah garis imajiner. Garis itu kita kenal sebagai Garis Wallacea sekarang, antara Kalimantan dan Sulawesi, antara Bali dan Lombok.
Satu risalah Wallace ditulis dari Ternate, Maluku, pada 1858, yang belakangan dikenal sebagai “Surat dari Ternate”. Di situ dia menyebut tentang “seleksi alam dalam proses evolusi” bahkan sebelum Charles Darwin. Banyak orang percaya, Wallace lah, bukan Darwin, yang lebih berhak menyandang gelar Bapak Teori Evolusi.
Wallace tak hanya menulis tentang tumbuhan dan hewan. Dia juga membahas adat istiadat serta dinamika politik-ekonomi Nusantara di bawah kolonialisme Belanda Abad ke-16.
Kami tak sepenuhnya setuju dengan pandangan Wallace, yang kadang berbau rasis dan terlalu memuji Pemerintahan Hindia Belanda. Namun, membaca karya Wallace membuat kita menyadari, atau mengingat kembali, tentang kekayaan dan keragaman tak hanya flora-fauna tapi juga adat, suku dan manusia Nusantara. Itulah kesadaran yang menjadi landasan penting bagi kehidupan bangsa kita sekarang dan di masa mendatang.
Keragaman yang ditekankan oleh Wallace memiliki implikasi tak hanya pada bagaimana seharusnya kita melestarikan alam Indonesia, yang sekarang sebagian telah rusak, tapi juga pada bagaimana kita mengelola negeri yang sekarang sedang mengalami krisis ini secara sosial, ekonomi dan politik.
Kami tak punya daya tahan, waktu dan pretensi ilmiah sebanyak Wallace. Tapi, bayangan untuk bisa menelusuri atau napak-tilas sebagian tempat-tempat yang pernah dia kunjungi merupakan satu kehormatan bagi kami dan penguat motivasi untuk melakukan Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa.
Perasaan iri akan kefasihan Wallace dalam reportasenya tentang alam-manusia Nusantara, serta simpati kami pada rasa frustrasi Christopher McCandless akan modernitas semu, kepekaan sosial Che Guevara, dan kegilaan Fazham Fadlil menggumpal menjadi satu motivasi besar bagi kami untuk berangkat, melupakan sejenak ketakutan-ketakuan yang mungkin akan kami hadapi di perjalanan.
Dan, begitulah. Kami pun berangkat!
Perjalanan kami tak sebanding dengan mereka. Tapi, setidaknya bagi kami, inilah salah satu pengalaman paling bermakna sepanjang hidup. Inilah ketika dua kehidupan, yang terpaut jarak 20 tahun, berbagi pengalaman bersama, aspirasi dan impian sama, setidaknya untuk sementara.
Berjalan bersama selama 10 bulan, dua orang bisa banyak bertukar renungan, baik yang serius tentang eksistensi manusia di alam, keindonesiaan, politik dan ekonomi, maupun hal-hal sepele seperti berbagi kekonyolan dan bertukar apresiasi sederhana tentang ikan yang disantap maupun kopi yang diteguk sepanjang perjalanan.
Begitu juga dengan kami. Bahwa kami, pada saat yang sama mungkin sedikit advonturir, kami sebenarnya hanya mengalami apa yang jarang orang lain alami. Catatan perjalanan kami tak lebih dari gumam dan renungan acak yang sering orang tulis dalam catatan harian mereka.***
Bagian 3: Sepeda Motor Bekas di Emper Warung
Bagian 1: Anak Gunung Menjelajah Laut
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 You can leave a response, or trackback.