Header image

Sepeda Motor Bekas di Emper Warung

Posted by Farid Gaban in Catatan

Oleh Farid Gaban

[Bagian 3 dari empat tulisan pengantar buku "Indonesia: Mencintaimu dengan Sederhana"]

Bagian 2: Petualangan Jurnalistik Melebur dalam Ketiadaan
Bagian 4: Mengejar Pelangi Kepulauan Nusantara

Seperti di laut, petualangan darat bersepeda motor juga sama menyenangkannya. Kami masing-masing mengendarai satu sepeda motor. Kami tak seberuntung Ewan McGregor dan Charley Boorman, dua petualang yang bersepeda motor dari Skotlandia ke Afrika Selatan dalam perjalanan yang didokumentasikan BBC dengan tajuk “Long Way Down”. Mereka naik BMW Adventure, motor besar dengan kapasitas mesin 1200 cc.

Sepeda motor kami dipermak di Kalimantan

Untuk menghemat biaya semurah mungkin, kami memilih sepeda motor sederhana, Honda Win 100 cc. Itupun kami beli bekas. Sepeda motor Yunus buatan 2005, sementara yang saya kendarai lima tahun lebih tua umurnya dari itu. Kami beli di Bandung, keduanya dimodifikasi menjadi trail untuk mengantisipasi medan yang mungkin kami hadapi.

Dengan kapasitas mesin hanya 100 cc, Honda Win kalah laju dari sepeda-sepeda motor bebek 125 cc yang banyak beredar di pasaran. Tapi, memang bukan kecepatan yang kami cari. Inilah jenis sepeda motor yang biasa dipakai para tukang pos pedesaan untuk mencapai alamat-alamat terpencil, dan terbukti cukup tangguh untuk perjalanan jauh kami. Kecuali gangguan busi dan ausnya gear atau ban bocor, kami jarang dipusingkan oleh sepeda motor ini sepanjang pejalanan.

Semula kami berharap bisa mengumpulkan uang atau menemukan sponsor untuk membeli sepeda motor di Banda Aceh, setelah menempuh perjalanan 2.000 km dari Jakarta. Tapi, kami tak beruntung. Motor yang sama tetap kami pakai sampai kembali lagi ke Jakarta setahun kemudian.

Dengan motor sederhana itulah kami antara lain menyisir pantai barat Sumatra sepanjang Pegunungan Bukit Barisan; melintasi Pegunungan Leuser dari Banda Aceh ke Medan dan Dumai; serta menembus jalan darat Kalimantan yang jarang dilalui orang, dari Singkawang dan Pontianak di barat, menuju Ketapang, Palangkaraya dan Banjarmasin di selatan, lalu ke Balikpapan, Samarinda, Tanjung Redep, dan Nunukan di timur laut. Kami mungkin hanya dua dari sedikit orang yang pernah tuntas bersepeda motor melintasi Kalimantan, pulau terbesar kedua setelah Papua, dari pesisir barat ke pesisir timurnya.

Indonesia timur memiliki lebih banyak pulau kecil ketimbang daratan. Itu sebabnya kami memutuskan meninggalkan sepeda motor di Makassar, dan mengunjungi sebagian besar kawasan Sulawesi Timur dan Utara, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara dengan menggunakan kapal dan perahu.

Motor belakangan dikirim dengan kapal ke Maumere, Flores, yang kemudian kami pakai untuk mengarungi 2.000 km lain dalam perjalanan ke barat menuju Jakarta via Ende dan Labuhan Bajo (Flores), Bima (Sumbawa), Mataram (Lombok), Ubud (Bali), Banyuwangi, Sidoarjo, Madiun, Yogyakarta, dan Cirebon (Jawa). Perjalanan yang sama menyenangkannya.

Jika tangki bensin diisi penuh, yakni empat liter, kami bisa mengarungi jarak 100 km. Motor kami tidak dilengkapi dengan speedometer, petunjuk jarak maupun petunjuk isi tangki. Hanya dengan perasaan saja kami menakar isi tangki. Tapi, alhamdulillah, kami tak pernah kehabisan bensin di tengah jalan yang membuat kami harus mendorong motor. Kami bersyukur karena di tempat-tempat terpencil seperti pedalaman Kalimantan, jarak satu kampung (dan satu penjual bensin) dengan lainnya bisa puluhan kilometer.

Dalam sehari kami biasanya menempuh jarak sekitar 200 km atau paling jauh 300 km, dengan berhenti di setiap pemandangan atau obyek menarik untuk dipotret dan direkam video. Atau berhenti kapan saja untuk makan dan sekadar menikmati secangkir kopi di warung pinggir jalan.

Motor kami tidak dilengkapi dengan lampu memadai pula. Kapan saja menjelang gelap, kami memutuskan menginap, kadang di surau kecil, kadang di emper kedai pinggir jalan, atau kami membuka tenda di kolong langit, seperti yang beberapa kali kami lakukan di pedalaman Kalimantan. Hanya jika sangat terpaksa, untuk menemukan tempat yang nyaman dan aman menginap misalnya, kami melanjutkan perjalanan dalam gelap. Kadang dibantu cahaya bulan atau kerlip bintang, atau kadang mengekor di belakang sepeda motor atau mobil yang searah dengan perjalanan kami. Jika ada.

Pada dasarnya, kami bisa tidur di mana saja, yang membuat biaya perjalanan kami juga jauh lebih hemat. Selain tenda dan kantong tidur, kami membawa pula peralatan masak jinjing untuk menyeduh kopi dan memasak mie instan.

Berbeda dengan McGregor dan Boorman yang ditemani tim logistik pembawa perbekalan dan peralatan, kami hanya berdua. Mengingat kondisi motor, kami harus seksama memilih barang yang kami bawa: seringkas dan sesedikit mungkin, namun pada saat yang sama memenuhi kebutuhan minimal kami, termasuk kebutuhan untuk bisa meliput dan menulis sepanjang perjalanan.

Untuk berenang dan menyelam di laut, kami membawa sepatu kaki katak dan perlengkapan masker snorkel. Tapi, yang terpenting, kami juga membawa laptop, kamera digital, kamera saku bawah air, persediaan lensa, tripod, serta video-kamera mini. Yunus membawa beban tambahan peralatan dapur dan kantung kecil berisi kunci-kunci servis motor.

Semula, masing-masing motor kami dilengkapi dengan boks fiberglass untuk menampung sebagian barang bawaan, yang selebihnya kami bawa dalam ransel punggung. Tapi, boks ini sudah rontok dalam perjalanan berat pertama menyusuri pantai barat Lampung-Bengkulu, ketika kami harus melintasi jalan tanah licin, menyeberangi sungai tanpa jembatan dan berjuang keras mengarungi jalan berbatu. Juga rontok bersama boks itu peralatan Global Positioning System (GPS) yang semula memungkinkan teman-teman kami di Jakarta melacak keberadaan kami via satelit.

Setelah boks tak terpakai, kami harus merampingkan lagi barang bawaan. Untuk menghemat ruang dan beban, kami membawa hanya dua-tiga pasang baju, celana dan pakaian dalam. Kami harus benar-benar hemat memakainya termasuk di daerah hujan, sehingga kadang tidur dengan pakaian basah. Di beberapa perhentian kami harus mencuci baju sendiri dan menunggunya sampai kering.

Ketimbang membawa sepatu yang berat, saya memilih memakai sepatu sandal atau sandal jepit hampir di seluruh perjalanan. Memakai sandal memang kadang tidak nyaman, misalnya ketika saya harus berjalan kaki menyusuri jalanan berlumpur dalam perjalanan Merauke-Digoel, Papua, atau ketika menembus hutan basah yang banyak lintah di Tanah Tinggi, hulu Sungai Digoel. Tapi, memakai sandal membuat tubuh terasa lebih ringan.

Sepatu kaki katak terbukti punya manfaat lain ketimbang hanya untuk menyelam. Yunus memakainya untuk ganti spatbor roda depan yang rontok, mencegah lumpur jalanan menciprat ke wajahnya. Jaket dan celana dia pakai untuk mengganjal sadel motor yang belakangan makin aus.

Kami membelanjakan uang lebih banyak dan menyediakan ruang lebih banyak untuk peralatan elektronik, yang sebagian kami beli gres. Kami antara lain membeli laptop Apple Macbook Pro, untuk menulis dan mengolah foto yang kami jepret di lapangan. Juga kamera digital Canon 50D dengan lensa tambahan 300 mm, serta handycam Panasonic. Untuk mengabadikan pemandangan bawah laut kami membawa kamera Canon G-10 bekas. Itulah beberapa benda termahal yang menyertai perjalanan kami, yang belakangan terbukti terlalu mewah.

Nasib naas menimpa kami. Laptop dan kamera-kamera itu tercebur ke laut ketika perahu kami tumpah di Siberut, Kepulauan Mentawai, ketika kami bahkan baru saja mengawali perjalanan di Sumatra. Air garam membunuh mereka. Belakangan, kami mengganti peralatan itu dengan laptop dan kamera bekas.

Bahkan meski bekas, laptop dilengkapi dengan modem yang memungkinkan kami mengirim tulisan dan foto sepanjang perjalanan ke situs www.zamrud-khatulistiwa.or.id dan halaman facebook Ekspedisi Zamrud , yang menjadikan perjalanan kami bersifat interaktif dengan siapa saja teman-teman yang mengikutinya. Mungkin ini ekspedisi pertama dari jenisnya di Indonesia yang bersifat interaktif.

Bagian 2: Petualangan Jurnalistik Melebur dalam Ketiadaan
Bagian 4: Mengejar Pelangi Kepulauan Nusantara

You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 You can leave a response, or trackback.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>