Header image

Petualangan Jurnalistik Melebur dalam Ketiadaan

Posted by Farid Gaban in Catatan

Oleh Farid Gaban

[Bagian 2 dari empat tulisan pengantar buku "Indonesia: Mencintaimu dengan Sederhana"]

Bagian 1: Anak Gunung Menjelajah Laut
Bagian 3: Sepeda Motor Bekas di Emper Warung

Ahmad Yunus menulis di geladak kapal

Di pulau-pulau, kami bertemu dan bergaul dengan para nelayan, mewawancara dan merekam kehidupan mereka, yang jauh berbeda dari kehidupan petani pedalaman Jawa. Kami misalnya menginap di atas bagan di Pulau Kabung, lepas pantai Singkawang, Kalimantan Barat, dan melihat dari dekat bagaimana mereka mengolah ikan asin sepanjang malam untuk dikeringkan di terik siang. Kami juga ikut nelayan Kepulauan Karimata memasang bubu di karang dan mengumpulkannya kembali beberapa hari kemudian.

Hampir di semua tempat, kami menginap di rumah-rumah nelayan. Dalam kesederhanaan hidup mereka, para nelayan ini menyambut kami dengan baik, membantu kami, serta berbagi banyak cerita tentang tradisi dan kehidupan mereka. Ahmad Yunus, yang pandai memasak, kadang membantu tuan rumah menyiapkan makan malam, menambah keakraban tersendiri.

Sementara kami banyak berkunjung ke kampung-kampung nelayan atau petani, dan banyak mewawancara mereka, tak sekalipun kami bertemu, berkunjung atau mewawancara pejabat, baik gubernur maupun bupati. Pejabat tertinggi yang pernah kami temui adalah camat, yakni Camat Pulau Enggano, itupun karena kami secara kebetulan naik kapal yang sama.

Jurnalisme, bagi kami, punya kewajiban menyuarakan orang-orang yang tak bersuara atau mereka yang suaranya jarang didengar. Tapi, dalam media massa kita, berita cenderung secara keliru hanya didefinisikan sebagai suara pejabat atau politisi. Mereka sudah terlalu banyak disuarakan. Sementara, suara orang kebanyakan, petani atau nelayan, apalagi di pulau-pulau terpencil, jarang sekali terdengar.

Para nelayan di beberapa pulau senang mengantar kami dengan perahu motor kecil memamerkan tempat-tempat terindah pulau mereka yang jarang dikunjungi. Atau memamerkan ritual tradisi mereka yang diturunkan dari nenek-moyang.

Di Pulau Enggano, misalnya, pulau terdepan di Samudra Hindia, kami berkemah di hutan pinggir pantai, memancing ikan dari laut, membakarnya langsung dengan kayu pohon bakau, dan menyantapnya dengan piring alam dari daun hutan pantai.

Di Bangkurung, Kepulauan Banggai, Sulawesi, kami disambut dengan upacara tradisional. Di sini, setiap tamu harus membeli seekor ayam milik tuan rumah, dengan harga berapa saja, yang kemudian disembelih untuk disantap bersama. Di rumah adat, kami bersila makan ubi lokal dan sagu dengan kuah sop ikan kima yang disajikan dalam tempurung kelapa dan minum air putih dari cawan batang bambu. Malam harinya kami disuguhi tarian tradisional dalam irama musik kendang, gong dan perkusi tradisional yang penuh hentakan.

Di samping adat-istiadat, arsitektur tradisional juga menjadi sumber kekaguman kami, terutama ketika kami mengunjungi Kepulauan Nias, di Samudra Hindia. Kami berkunjung ke Kampung Hiliniwalo Mazingo tempat berdirinya bangunan kayu kuno, Omo Hada. Bangunan itu telah berumur hampir 300 tahun, tapi tetap berdiri tegak setelah Nias digempur gempa besar 7,9 Skala Richter pada 2005.

Menyimpang sedikit dari pesisir, kami juga sempat mengunjungi Sintang, di hulu Sungai Kapuas, Kalimantan, sungai terpanjang di Indonesia. Kami menginap di sebuah rumah betang, atau rumah panjang, rumah tradisional Suku Dayak Desa. Kami menyaksikan upacara mereka membuka ladang, mendengar seorang perempuan tua berbagi kisah cerita rakyat kepada generasi lebih muda, mengetahui rahasia mereka membuat kerajinan kain ikat, serta mendengar keluhan mereka tentang ancaman kepunahan tradisi dan ladang pertanian akibat desakan perluasan perkebunan sawit yang begitu agresif belakangan ini.

Tak hanya adat, tradisi dan arsitektur. Kami juga senang bisa mengunjungi sejumlah tempat bersejarah sepanjang perjalanan. Di ujung timur, kami sempat mengunjungi Digoel dan Tanah Tinggi, tempat sejumlah tokoh pergerakan nasional pernah dibuang dan dipenjarakan dalam kamp konsentrasi ganas yang dibatasi hutan lebat, sungai penuh buaya, dan nyamuk malaria yang mematikan.

Di barat, kami sempat singgah sebentar di Barus, sebuah kota pelabuhan di pantai Sumatra Utara. Nama ini pernah dikenal ke seluruh penjuru dunia karena ekspor kapur barusnya, dan menghasilkan sastrawan klasik Hamzah Fanzuri (Fanzur adalah bahasa Arab untuk kapur barus). Namun kini Barus tak lebih dari sebuah kota kecamatan kecil yang ekonominya sekarat.

Di Bandaneira, Kepulauan Banda, kami menyimak sejarah lebih banyak lagi. Di samping pernah menjadi tempat pembuangan tokoh pergerakan seperti Sutan Sjahrir, Hatta dan Iwa Kusumasumantri, Banda dikenal kaya akan kebun pala, rempah-rempah yang menarik perhatian Inggris dan Belanda untuk berebut koloni. Sejarah kolonialisme berawal dari sini. Meski tak sempat mengunjungi Pulau Run, kami mendengar kisah menarik tentangnya: bagaimana Kolonial Inggris menukar pulau ini dengan Pulau Manhattan, New York, yang dulu dikuasai Belanda.

Inggris juga menukar Benteng Marlborough, di Bengkulu, dengan kota lain yang kini jauh lebih terkenal, Singapura, setelah banyak pasukannya tewas. Mereka mati bukan karena peluru, melainkan karena serangan nyamuk malaria.

Ancaman malaria memang salah satu yang ditakuti orang ketika mengunjungi pesisir dan pulau kecil di kawasan tropis sampai sekarang. Hampir semua pulau kecil negeri kita dikenal sebagai daerah endemi malaria. Tapi kami bersyukur, tak sekalipun kami berdua terjangkit penyakit ini. Bahkan, kami tidak pernah sakit sepanjang setahun perjalanan dari pulau ke pulau; kecuali flu karena kehujanan atau demam ringan karena infeksi luka setelah terpeleset naik sepeda motor. ***

Bagian 1: Anak Gunung Menjelajah Laut
Bagian 3: Sepeda Motor Bekas di Emper Warung

You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 You can leave a response, or trackback.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>