Dari Kendari ke Kolo dengan Si Kapal ‘Siput’ Haspita Jaya
Oleh Ahmad Yunus
Sabtu pagi (13/03). Awalnya saya dengan puluhan penumpang lainnya adalah asing. Tak saling mengenal satu sama lainnya. Keadaan dan perjalanan akhirnya membuat kami menjadi akrab. Saling bertegur sapa. Berbagi senyuman. Rokok hingga makanan ala kadarnya.
Awalnya saling menjaga barang bawaan masing-masing. Waspada ada pencopet dan maling. Tapi lama-lama penumpang saling menjaga dan mengingatkan. Tapi saya tahu keakraban ini hanya sementara. Ujungnya, kami akan berpisah dan mengutuk keadaan selama di kapal.
Sedikit corat coret membunuh kesuntukan. Jangan sampai berhalusinasi selama perjalanan. Tulisan ini muncul seadanya selama dalam perjalanan kapal.
Sejak pagi tadi penumpang saling membunuh waktu. Ada yang main kartu domino. Hingga pacaran di belakang kapal. Saya pilih membaca buku soal Ekspedisi Papua yang dilakukan oleh Kompas 2007 silam. Lumayan menambah bekal pengetahuan. Sisanya membaca buku Lonely Planet soal Indonesia. Ini buku ampuh sebagai pegangan keliling Indonesia.
Si kapal ’siput’ perutnya buncit. Sekali muntah isinya banyak. Mulai dari berkardu-kardus mie, ikan kering, telur, buah-buahan, motor, kulkas hingga ratusan sack semen. Kapal kayu ini panjangnya sektiar 25 meter. Bagian depan untuk nahkoda. Dua ruang selebar lemari pakaian satu-satunya ruang Very Important Person. Ruang pribadi. Tidur sendirian dan dapat kunci pribadi.
Ruang tengah khusus penumpang. Berjejer kasur plastik tipis. Ruang belakang khusus mesin, dapur dan toilet. Asap dan panas mesin campur aduk dengan hawa penumpang. Kentut, bau muntah dan keringat. Sedikit bumbu garam yang menguap dari laut. Penghuni ruang ini kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak.
Kami tak memilih berada di ruang VIP maupun ruang penumpang. Kami pilih berada di atas atap kapal. Berlantai papan. Udara jauh lebih segar. Langsung dari laut. Pemandangan lmenghadap laut dan pulau. Pelindung dari terik matahari hanya selembar terpal biru. Dan kalau siang terasa bau gosong plastik terpal. Kebanyakan penumpang laki-laki lebih memilih di sini. Lebih bebas. Merokok sepuasnya.
Kemarin perut kapal sempat menabrak kapal. Juru mudi tak melihat kapal berada di daerah karang. Bunyi terdengar keras. Beruntung tak merobek perut kapal. Kapal langsung melaju mencari laut dalam. Dermaga pertama kami tiba di Kaleroang, Kecamatan Salabangka. Kapal bersandar di sebuah pasar. Ramai dengan penjual ikan kering, sayuran dan buah-buahan. Kami menyeruput kopi dan makan malam di sini.
Sabtu malam sekitar pukul 12.00 kapal bergerak meninggalkan dermaga. Hujan turun cukup deras. Angin cukup kuat. Air hujan masuk dari samping kiri kanan terpal. Awak kapal menggelar terpal untuk menutup alas. Celana saya basah terkena cipratan hujan.
Namun saya tak peduli. Badan sudah terasa lelah setelah berjemur seharian. Tidur tetap pulas. Walau harus menahan dinginnya gempuran angin laut. Sekitar jam 06.00 kapal tiba di Morowali. Isi perut si siput kembali muntah. Mengeluarkan barang bawaan penumpang dan titipan. Kami mencari kopi untuk menghangatkan tubuh.
Bagaimana bertahan selama di kapal? saya sedikit membagi jurus-jurusnya. Jurus selama di kapal adalah berdamai dengan keadaan. Dan kegiatan paling mujarab adalah tidur. Tidur seadanya dan bermimpi berada di atas kapal pesiar. Minum wine dan makan sea food.
Hari Minggu ini (14/03) si kapten membagi bantalnya untuk saya. Mungkin agar tidur lebih nyenyak. Saya tertelap. Angin sepoi-sepoi mempercepat saya jatuh ke dalam mimpi. Dua jam saya tertidur hari ini.
Kapal kayu ini melayani rute Kendari-Kolo satu kali dalam seminggu. Singgah dari satu pulau ke pulau lainnya. Kapal ini tetap bergerak dikala cuaca buruk yang jatuh pada setiap bulan Juni dan Juli di Tenggara Sulawesi.
Hari pertama awak kapal memberi jatah nasi ransum. Nasi dan lauk tongkol. Plus, kopi dan teh manis. Hari kedua, masih dengan menu yang sama. Namun tak ada kopi dan teh manis. Nah, ini yang paling repot. Kopi obat paling mujarab untuk menahan terik matahari. Kami sering berhalusinasi; rasanya ingin menyeruput kopi atau menikmati es campur.
Saya tetap menikmati dan tidak mengeluh dengan kondisi perjalanan. Ini perjalanan romantis untuk menikmati potret kehidupan masyarakat di kepulauan. Bertegur sapa dengan penumpang. Ini bagian dari seni perjalanan. Bagi saya ini tetap pengalaman yang baru walau sudah beberapa kali menggunakan kapal dan melihat pulau-pulau sebelumnya.
Pengalaman seperti ini tak mungkin didapatkan ketika berada di Jawa. Pembangunan rasanya membawa keterasingan. Setiap orang berlomba menginginkan fasilitas yang nyaman dan pribadi. Sehingga rela mengeluarkan uang lebih banyak demi kenyamanan itu.
Namun tetap saja bertabrakan ketika jutaan orang menginginkan hal yang sama. Kenyamanan menjadi sesuatu yang absurd. Tidak ada lagi ruang bertegur sapa. Selain memaki sesama pengguna jalan umum, misalnya. Atau menutup jalan tol, demi kelancaran dan kenyaman rombongan presiden.
Saya melihat semakin dekat denyut kehidupan masyarakat. Mereka sudah bekerja keras untuk bertahan hidup. Setiap malam mereka mencari ikan di tengah laut. Menjaga rumput laut agar tak dimakan penyu dan ikan. Saya tahu, hasil tangkapan dan kerja mereka tak sebanding dengan harga. Pasar akan menikam harga ikan semurah-murahnya. Kehidupan nelayan jauh dari sejahtera.
Beruntung, alam negeri ini masih setia menyediakan ikan yang melimpah. Dan menumbuhkan buah-buahan, umbi dan padi di darat. Agar anak negerinya tak kelaparan dan mengangkat senjata. Namun mengapa negeri masih tersesat? mengapa semakin terasing di negerinya sendiri?
Minggu sore sekitar pukul 16.30 akhirnya kapal bersandar di Desa Kolo Bawah, Kecamatan Mamosalato. Desa ini kecil dihimpit oleh bukit. Warga membangun rumah kayu di bibir teluk. Beberapa mobil kijang menunggu penumpang. Dari Kolo kami akan bergerak menuju Luwuk. Perjalanan darat ini sekitar empat jam.
Saya bergumam dan bernyanyi. Dekat bendera merah putih.
Indonesia tanah air beta, pujangga abadi nan jaya.
Indonesia sejak dulu kala selalu dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Di buai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menjemput masa
Farid Gaban ikutan nyanyi. Menghibur diri. Akhirnya perjalanan laut selesai.
Di ujung dermaga beberapa unit mobil Kijang sudah menunggu. Mereka siap mengangkut penumpang ke beberapa tujuan. Tujuan berikutnya menuju Luwuk. Alamak! seperti iklan Kijang. Nenek, kakek, paman, bibi, ayah, kakak, adik semua masuk ke dalam mobil.
Ada sekitar 17 orang dalam mobil. Dua sopir. Sisanya penumpang. Tak ada ruang gerak untuk kaki. Anak-anak kecil merengek kecapean. Barang bawaan penuh. Semua penumpang dengan kondisi yang sama. Tidak mandi selama dua hari!.
Perjalanan panjang. Saya sulit untuk tidur di dalam mobil. Jalan rusak. Banyak lubang. Per mobil tak mempan menahan beban. Rasanya menusuk sampai tulang belakang. Pantat panas sekali. Huh…lelah sekali hari ini. Perjalanan dua hari satu malam penuh tantangan.***
Asik tuh pasti berhimpitan dengan para penumpang yang semuanya berlomba-lomba untuk sampai ke tujuan namun sayangnya mereka berada pada sebuah kabin kecil dan kecepatan yang sama hingga mau tak mau harus selalu bersama berhimpitan tanpa ada jarak yang merubah hehehe, selamat datang di Kota Luwuk, kota AIR yang eksotik.
perjalanan yang mengasyikkan… lanjutkan mas, slamat berjuang. merdeka
Waduh! itu gimana masukkin semua orang + bawaan begitu yah.
Hahaha saya suka tipsnya : membayangkan yang idah2 hehe