Perjalanan Wakatobi: Menengok Surga Nyata Bawah Laut
Posted by in CatatanOleh Ahmad Yunus
Dua hari perjalanan dari Bira menuju Bau-bau. Naik kapal feri satu malam. Kemudian dilanjutkan naik speedboat menuju Bau-bau. Laut begitu tenang sepanjang perjalanan. Angin kuat yang berlangsung pada musim barat tak muncul. Seperti ketika perjalanan di Takabonerate. Angin dan ombak mengocok kapal.
Bau-bau, Pulau Buton berdetak. Banyak kapal dagang. Kami tiba menjelang sore hari. Seorang kenalan baru mengajak kami keliling Bau-bau. Jalan mulus. Naik ke puncak menuju Benteng Keraton Buton. Bentengnya rapi. Terbuat dari bebatuan karang. Benteng ini dibuat pada abad ke 16 dibawah Sultan Wolio. Dari benteng bisa melihat pemandangan Bau-bau. Hamparan laut dan deretan kapal.
“Arung Palaka bersembunyi di sini. Di sebuah goa,” kata La Ode Is. Kami minum kopi. Dan satu piring goreng pisang. Di dermaga sambil melihat kapal pinisi yang berlabuh. Waktu sekolah dasar dulu, saya mengenal Pulau Buton sebagai penghasil aspal. Selain sejarah tentang Kerajaan Buton.
“Setiap tahunnya, anak-anak pelajar dari Australia, Inggris datang ke sini. Bikin penelitian soal terumbu karang dan hutan, “ katanya. Pelajar asing ini mengikuti tradisi dan jejak dari Alfred Russel Wallacea. Biologis dari Inggris. Ia mampir di pulau ini dan melakukan sejumlah riset. Dan mencatatnya menjadi sebuah buku, The Malays Archipelago.
Kami berangkat menuju Wanci di Pulau Wangi-wangi. Naik kapal penumpang. Terbuat dari kayu. Tiga lantai. Kami tidur lelap di lantai tiga kapal. Kapal tiba Sabtu pagi, (6/03). Udara sejuk. Laut tenang. Pulau kecil menyapa.
Saharudin dari TNC-WWF Wakatobi menjemput dan mengajak kami istirahat dikantornya. Ia menunjukkan peta wilayah Taman Nasional Wakatobi. Wakatobi adalah sebuah singkatan untuk Pulau Wanci, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Ada satu pulau kecil, namanya Pulau Runduma. Pulau ini masuk wilayah Wakatobi.
“Harusnya Wakatobiru. Buton telah mengatur dengan rapi tata kelola di sini, ” katanya. Mulau dari darat hingga masyarakat di kepulauan. Sampai sekarang tradisi Buton masih dilakukan oleh masyarakat.
Kami akan melihat kehidupan empat pulau ini. Dari keindahan bawah lautnya dan kehidupan masyarakat kepulauan.
“Di sini ada masyarakat Bajoe juga. Namun sudah menetap dan bikin rumah di tengah laut. Wakatobi memiliki barisan terumbu karang terpanjang dunia setelah Australia. Banyak tempat pemijahan ikan-ikan,” kata Saharudin. Mulai dari Kerapu, Kakap, Tuna, Tongkol hingga Sunu. Kami cerita soal perjalanan yang tengah kami lakukan. Perjalanan di Sulawesi titik masuk untuk meliput pulau-pulau di kawasan Indonesia Timur.
Hari pertama di Wangi, Farid Gaban bersemangat ingin menyelam. Alibasaru dari WWF mengajak kami melakukan penyelaman di Matahora bagian timur Wangi-wangi. Dari Wanci sekitar setengah jam naik motor. Pulau Matahora adalah pulau kecil di Wangi-wangi. Pasir putih. Pohonnya masih lebat. Di sini, saya snorkeling. Dan Farid Gaban melakukan penyelaman.
Lamun tumbuh subur di Pulau Matahora. Namun karangnya banyak yang rusak. Nyaris tak ada karang yang timbul di bibir pulau. Termasuk ikan-ikan karang. Setengah jam saya menyisir pulau. Pemandangan hampir sama; karang-karang berantakan. Sedih melihatnya. Apalagi jauh-jauh hari saya mendengar bahwa Wakatobi adalah salahsatu dan memiliki terumbu karang terbaik di dunia.
Saya baru tahu kemudian setelah bertemu dengan Lajuma Ali, 60 tahun. Salahseorang warga Matahora. Usianya sudah tua. Namun ototnya terlihat keras. Ia membakar rokok dengan tangan kanannya. Saya menelisik di tangan bagian kirinya. Jari-jarinya hilang.
“Bom ikan meledak saat saya pegang. Merobek pipi dan dada,” katanya sambil terkekeh-kekeh. Ledakan bom melempar dirinya ke laut. Ia sadar bahwa bom meledak sebelum ia lempar ke laut. kejadian ini berlangsung pada tahun 1984 di Seram Barat, Maluku. Namun ia tak jera dengan peristiwa itu.
“Ratusan kali sudah bikin bom. Empat kali ditahan aparat. Saya tetap bikin bom,” katanya.
Bom ikan menghancurkan karang. Ikan langsung terkapar dan melayang. Bahan bom terbuat dari potasium. Dekade tahun 70′an hingga 2000 praktik bom ikan masih berlangsung. Ia mengaku mudah mendapatkan bahan peledak. Kapal-kapal membawa bahan peledak dari Jawa, Batam dan Singapura.
“Cap matahari dan obor. Beli satu peti, “ katanya. Ia juga membeli bahan peledak bubuk mesiu dari seorang tentara.
Tahun 1998 terjadi sejumlah kerusuhan. Termasuk konflik di Maluku. Lajuma ikut dalam konflik itu dan kemudian mengungsi ke Pulau Wangi-wangi dengan ratusan pengungsi lainnya. Ia meninggalkan rumah, kebun dan kapalnya. Di Wangi-wangi beserta puluhan pengungsi lainnya mendirikan gubuk di Matahora.
Ia tahu di Matahora banyak ikan. Terumbu karang masih tumbuh subur. Ia harus bertahan hidup. Dan bom menjadi alat efektif paling mudah untuk merontokkan ikan-ikan.
“Setiap hari terdengar hingga tujuh kali pengeboman. Banyak masyarakat lokal protes. Namun mereka diancam dengan bom itu,” kata Alibasaru dari WWF.
Ia tahu pengungsi masih trauma dengan konflik di Maluku. Mereka datang ke pulau ini untuk bertahan hidup. Tak mudah mencari solusi agar mereka meninggalkan praktik kejam itu. Apalagi bahan baku peledak juga beredar di pulau ini. Masyarakat mengenalnya dengan “pupuk”. Harga satu kilogramnya hanya delapan ribu rupiah.
WWF masuk ke Wakatobi pada tahun 2003. Lembaga ini bekerja untuk melakukan upaya konservasi di kepulauan Wakatobi. Salahsatunya memberikan kesadaran kepada masyarakat lokal. Praktik bom juga ilegal. Tahun 2004, polisi mengamankan satu kapal yang membawa lima ton bahan peledak. Polisi juga melakukan penyitaan sejumlah bahan peledak yang masih tersisa di masyarakat. “Kemudian kasus ini menurun,” katanya.
Minggu pagi, (7/03) kami bergerak menuju Pulau Kaledupa. Perjalanan ditempuh sekitar dua jam menggunakan speedboat. Di Wakatobi, speedboat dan perahu kayu penumpang, punya jadwal. Tidak sulit untuk melihat dan menjangkau satu pulau dengan pulau lainnya. Ini yang berbeda ketika kami melakukan perjalanan ke Takabonerate. Tidak ada jadwal penumpang yang jelas dari Selayar menuju pulau lainnya. Sehingga kami menyewa kapal dengan cukup mahal.
Kapal speedboat menyandar di dermaga kecil perkampungan suku Bajoe. Suku ini terkenal sebagai pengembara lautan. Satu keluarga mereka bergerak menggunakan sampan. Dari satu pulau ke pulau lainnya. Semua kegiatan sehari-hari dilakukan di atas sampan mereka. Saya pernah film dokumenter tentang suku ini.
Mereka termasuk penyelam tradisional yang handal. Memanah ikan hingga mencari teripang. Namun, mereka sudah mengenal mesin kompressor. Kompressor dan tehnik penyelaman yang liar membuat banyak penyelam menyebabkan lumpuh dan mati.
Di Kaledupa, mereka membangun kampung sendiri di tengah laut. Mendirikan pondasi dari batu karang. Dan kemudian mendirikan rumah panggung. Mereka mengambil jarak dengan penduduk setempat yang tinggal di daratan. Atau bisa jadi sebaliknya. Namun, mereka adalah komunitas suku yang kecil.
Siang itu, kapal speedboat merapat di dermaga kecil. Saya melihat deretan perkampungan suku Bajoe. Anak-anak bermain sampan. Begitu juga dengan orangtuanya yang tengah memperbaiki rumput laut. Satu bangunan sekolah sudah berdiri di dalam perkampungan ini.
“Dulu mereka sering mengalami kekerasan. Selalu diusir jika menetap di satu pulau,” kata Saharudin. Saya ingin tahu penyebabnya. Mengapa suku ini menjadi ancaman dan sering mengalami kekerasan. Apa yang menjadi sumber konfliknya.
“Secara psikologis ada perasaan takut karena sejarah,” kata La Beloro dari Forum Kahedupa Toudani atau Forkani. Forum ini beranggotakan nelayan, petani rumput laut, dan petani bawang merah. Mereka mendirikan koperasi kecil untuk membantu masyarakat di Kaledupa.
Sejarah panjang sejak Kerajaan Buton berdiri. Hingga peristiwa DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Mereka dianggap pengikut Kahar Muzakkar. Menurutnya, banyak kasus pengeboman ikan juga dilakukan oleh suku ini. Saya belum tahu persis kebenaran ini. Namun , saya melihat di Kaledupa ada pengelompokkan.
“Tapi mereka masih mengambil air dan es dari kami. Proses pertemuan sosial dilakukan di pasar. Masih ada barter. Jangan sampai ada konflik dengan suku ini,” kata La Beloro.
“Mereka pelaut ulung. Tahu soal jenis ikan yang hidup di setiap terumbu karang,” kata Kamaludin, petani rumput laut.
Kami tak sempat masuk dan liputan di perkampungan Bajoe ini. Pengetahuan kami soal suku ini masih kecil. Dan kami tak ingin membangun opini dan membangun asumsi yang buruk tentang mereka. Kami memang ingin melakukan liputan khusus soal suku ini. Ikut dengan sampan mereka dan mengikuti pengembaraan mereka dilautan. Perubahan macam apa yang terjadi dalam kehidupan Bajoe? Sampai kapan mereka akan bertahan menjadi pengembara lautan? Suku Bajoe adalah warga negara. Mereka juga harus mendapatkan hak yang sama.
Kami bergerak di Pulau Hoga. Di sini ada sekitar 150 cottage kecil. Pemiliknya adalah nelayan. Kami senang penduduk lokal bisa mendirikan penginapan. Setiap pertengahan tahun pondok mereka selalu ramai oleh wisatawan. Kami melakukan snorkelling dan diving. Terumbu karangnya sangat cantik. Warna-warni. Ikan kecil terlihat riang gembira. Warga lokal menjadi pemandu dan pengurus dive center.
Seorang dive master, yang bekerja di Operation Wallacea bercerita bahwa banyak peneliti bawah laut yang datang ke Wakatobi. Mereka mendirikan sebuah stasiun penelitian di pulau ini. Ada ruang kelas, dapur umum dan peralatan diving. Peneliti datang dari kampus Inggris dan Amerika. Mereka membangun Pulau Hoga sebagai pusat penelitian kelautan internasional. Menurut informasi dari situs mereka, ada sekitar 50 penelitian akademis yang telah dilakukan. Serta artikel dalam jurnal-jurnal internasional.
Saya kagum dengan kawasan Wakatobi. Kelak, kawasan ini bisa menjelma menjadi salahsatu pusat laboratorium penelitian bawah laut dunia. Saya membayangkan akan banyak hasil penelitian yang dilahirkan dari pulau ini. Penelitian yang membantu upaya-upaya konservasi, memperkaya ilmu pengetahuan hingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokalnya.
Wakatobi kaya dengan ikan-ikan konsumsi bernilai tinggi. Jumlahnya sangat melimpah. Namun pengelolaan, pengolahan hingga membangun pasarnya masih ditangani secara tradisional. Ikan kerapu hingga Sunu yang bernilai tinggi hanya dibandrol cukup murah. Satu ikat ikan hanya sekitar 20 ribu rupiah.
Hasil produksi rumput lautnya juga tinggi. Satu petani rumput laut bisa menghasilkan satu hingga lima ton setiap satu bulan setengah. Namun harga rumput laut di sini hanya dibandrol sekitar tujuh ribu rupiah.
Jaring rumput laut terlihat membentang di Kaledupa. Di sini saya juga melihat ada Sero. Alat tangkap tradisional khas masyarakat Buton. Bentuknya seperti manusia. Kepala menjadi penampung ikan. Alat ini masih bertahan dan digunakan oleh masyarakat nelayan lokal.
Ikan dan rumput laut adalah bisnis masa depan. Keduanya bertumpu pada alam laut yang sehat. Wakatobi merupakan taman nasional. Memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Ini adalah pundi-pundi masa depan. Apalagi Wakatobi bagian dari jantungnya segitiga kawasan terumbu karang dunia.
Pengelolaan lingkungan yang tepat dan ramah lingkungan harus mendongkrak perekonomian masyarakat lokalnya. Mereka memerlukan pengetahuan, manajemen, pendampingan hingga menjaring pasar. Pemerintah dan lembaga-lembaga lokal maupun internasional harus membantu masyarakat di Wakatobi. Tak ada artinya jika kekayaan alam yang melimpah hanya menjadi kutukan kemiskinan dan kelaparan. Ibaratnya, ayam mati dilumbung padi.
Salahsatu skema yang bisa dikembangkan adalah pengolahan ikan dan rumput laut secara organik. Mulai dari penangkapan ikan, penanganan, pengolahan hingga pemasaran. Wakatobi memungkinkan untuk proses ini.
Saya ingat Flores. Di sana ada pengolahan mete secara organik. Jambu mete tumbuh subur di lahan yang tandus dan berbatu. Swisscontact membantu manajemen. Dari lahan pertanian, pengolahan hingga pemasaran. Mete ini mendapatkan sertifikasi organik internasional. Mereka membangun pasar internasional. Petani jambu mete mendapatkan harga yang pantas dan jauh melebihi harga lokal.
Mengapa sistem ini tidak diterapkan untuk Wakatobi? Ikan dan rumput laut menjadi basis perekonomian masyarakat lokal. Mengapa di sini tidak ada pengolahan ikan? mengapa di sini tak ada pabrik es? bagaimana pemerintah mensubsidi kebutuhan minyak untuk para nelayan?
Wakatobi jelas jauh lebih subur ketimbang Flores. Infrastruktur di sini juga sudah baik. Listrik dan jalan sudah ada. Di Wangi-wangi dan Pulau Tomia juga ada bandara kecil. Setiap minggu pesawat terbang menuju bandara internasional Hasanuddin di Makassar. Namun mengapa kekayaan alam ini belum mendongkrak kehidupan masyarakatnya?
Basis-basis organisasi masyarakat di Wakatobi juga sudah tumbuh. Banyak nelayan, petani rumput laut bergabung dalam organisasi lokal ini. Forkani memiliki anggota hampir 500 orang. Begitu di Tomia berdiri satu organisasi kecil, Komunto. Mereka memiliki radio komunitas untuk meyampaikan kegiatan dan kondisi di masyarakat. Ini bisa menjadi modal untuk menggerakan ide soal pengolahan ikan dan rumput laut secara organik.
“Kita selalu mengawasi kondisi laut. Jangan sampai ada bom dan penggunaan bius,” kata La Beloro.
Kami banyak melakukan diskusi dengan warga lokal. Dengan nelayan dan petani rumput laut. Saya melihat sudah banyak upaya kerja keras dari masyarakat. Mereka ingin sejahtera. Namun pasar dan pengelolaan manajemen daerah belum mampu mendongkrak perekonomian lokalnya. Pemerintah perlu turun tangan dan membantu masyarakatnya. Membangun satu model kecil usaha pengolahan ikan dan rumput laut secara organik.
Kami berjalan mengelilingi kampung. Memotret kehidupan masyarakatnya. Dan melihat satu mobil kijang Innova untuk setiap kecamatan. Saya heran mengapa pemerintah lokal perlu Innova. Pulau-pulau di Wakatobi relatif kecil. Dengan sepeda motor sudah cukup untuk mengelilingi kondisi pulau. Bukankah pabrik es lebih perlu dan mendesak ketimbang satu unit Innova?
Kami senang macam Forkani dan Komunto bekerja keras melakukan pemberdayaan dengan masyarakat. Ibaratnya, komunitas ini membantu dan melayani anggotanya sendiri. Usaha ini penting ketimbang menunggu umpan bola dari pemerintahan. Mereka juga perlu bekerja keras untuk mendesak agar pemerintahan di Wakatobi membantu masyarakatnya. Bukan menghamburkan uang daerah dengan membeli kijang Innova.
Dari Kaledupa kami naik speedboat menuju Pulau Tomia. Pulau kecil namun di sini banyak kapal dagang. Mereka berlayar hingga ke Timika, Papua. Saya semakin tahu banyak kapal dari tenggara ini yang melayani perdagangan. Mulai ke Flores, Maluku hingga Papua. Mereka membawa pakaian dan komoditas sehari-hari.
Di Tomia kami menginap di rumah Saharudin. Makan ikan. Minum kopi. Dan sempat melakukan snorkeling dan diving. Mengasyikan melihat hutan terumbu karang. Ratusan ikan penuh warnai-warni. Sempat melihat satu ekor penyu menari di atas terumbu karang. Termasuk rombongan ikan Barakuda. Ini termasuk jenis ikan predator!
“Kalau rombongan begitu tidak akan menyerang. Kecuali satu atau dua ekor Barakuda,” kata Saharudin. Saya tersenyum dan tidak membayangkan jika Barakuda menyerang saya. Mungkin keganasan Barakuda mirip ikan Piranha yang hidup di sungai-sungai hutan Amazon, Brasilia. Satu jam bisa menguliti satu ekor kerbau liar.
Pulau Binongko adalah pulau terakhir yang kami lihat. Kami menyewa kapal kecil. Matahari membakar kulit. Terik sekali. Laut teduh dan membuat kami tertidur di atas kapal kecil. Laut dangkal terlihat berada di bibir pulau. Warna laut hijau toska. Terlihat warna-warni ikan dan terumbu karang. Rasanya ingin sekali nyebur di laut. Dan mendinginkan badan yang terbakar matahari.
Pulau Binongko terkenal dengan produksi parang, pacul hingga linggis. Pulau ini dikenal Pulau Tukang Besi. Pandai besi bekerja di gubuk-gubuk kecil. Membakar plat besi-besi sisa per mobil. Mereka membuat tungku secara tradisional. Dari drum dengan bahan bakar arang. Satu perempuan tengah menjaga api agar pembakaran stabil. Mendorong satu tongkat kecil untuk memompa api. Sistem kerjanya seperti pompa ban. Pandai besi mengambil godam dan kemudian menghajar besi yang masih menyala merah.
Saat kerusuhan di Maluku permintaan terhadap parang dari Binongko sangat tinggi. Satu parang mereka jual hingga 50 ribu rupiah! motifnya hanya bisnis saja. Produk dari Binongko juga mereka jual hingga Papua dan kepulauan Riau.
Dari Binongko kami kembali ke Tomia. Istirahat satu malam dan pada pagi hari kami kembali pulang menuju Wanci. Perjalanan menggunakan perahu kayu. Banyak cerita dan catatan dari lapangan. Saya punya kesan, Wakatobi adalah kepulauan yang sangat kaya. Kekayaan alam, ikan, rumput laut serta pariwisata bisa menjadi modal untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakatnya.
Di sini, saya berdoa agar kekayaan alamnya tidak menjadi kutukan. Saya jatuh cinta dengan sejumput kehidupan di Wakatobi. Seorang nelayan tua, La Asiru dari Desa Kulati memberikan petuah dan menjadi laut adat; Kami mengaturnya dengan kearifan adat kami. Sehingga sampai kapanpun dia tetap milik kami.***
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 You can leave a response, or trackback.
asiikkkk !
buat refrensi untuk ke wakatobii !
Orang Indonseia sok2an pengen keluar negrii
padahal orang2 LN aja pengennya ke Indonesia!
duuuuhh.. andai jadi ke wakatobi. yang mo tk lakukan pertama kali.. nyebur laut.. hmm…enaknya…sayang daerahku jauh dari laut yg bersh
Menyenang sekali, sy menyesal berkali-kali ke Bau-Bau tp tak sempat ke Wakatobi. Jd pengin ke sana, apalagi sy mulai gila mancing….