Ikan Kering dari Kampung Rajuni
Posted by in CatatanOleh: Ahmad Yunus
Jarak dari Jinato ke Rajuni tak terlalu jauh. Kapal bisa menempuhnya sekitar satu setengah jam. Namun angin kencang dan arus ombak terasa kuat. Membuat kapal setengah mati melibasnya. Kami menempuhnya sekitar dua jam. Ombak naik turun. Kami duduk di atas atap kapal. Memegang kuat untuk menjaga tumpuan tubuh. Kapal melawan arus. Cipratan air laut sempat mengenai kamera digital yang dipegang oleh Farid Gaban.
Kami berangkat dari Jinato pada pukul 10.00 pagi hari. Setelah air laut sedikit pasang. Dan tiba di Rajuni sekitar pukul 12.30. Terik matahari sangat keras. Rajuni seperti pulau lainnya di kawasan Takabonerate. Memiliki pasir putih dan laut di bibir pantai yang jernih. Di sini rumah warga tampak lebih padat ketimbang di Jinato. Ada dua suku yang mendiami pulau ini. Suku Bugis dan Bajoe. Bajoe adalah suku pengembara. Mereka tinggal di atas perahu. Dan menjalankan kehidupannya di atas laut.
Namun, di pulau ini, Bajoe sudah mendirikan rumah. Mereka bikin dinding dan atap rumah dari pelepah daun kelapa. Sebagian mendirikan bangunan permanen. Namun rumah warga Suku Bugis kebanyakan sudah permanen. Beberapa bangunan tampak kokoh. Dengan warna cat cerah. Bahkan tak segan memasang tiang rumah seperti di rumah sinetron.
Masyarakat Bugis memiliki armada kapal tradisional dan menguasai jalur perdagangan laut. Mulai dari Makassar, Lombok, Flores, Timor, Alor hingga ke Ambon. Mereka membawa semen, komoditas pertanian seperti kemiri, cocoa, rumput laut hingga mete. Mereka juga menguasai dan bisa membaca kondisi laut.
Haji Daeng Erang adalah salahsatu warga yang tinggal di pulau ini. Ia dan keluarganya memiliki kapal dagang. Jualan ikan kering. Membeli hasil dari nelayan. Ia sudah puluhan tahun melakukan perdagangan ini.
“Kapal dari Rajuni terkenal. Bisa dibedakan dari tiangnya. Kami punya tiang lebih tinggi ketimbang kapal lainnya,” kata Haji Daeng Erang. Di perkampungan Bugis ini banyak haji. Dari usaha perdagangan.
Kapal seperti ini sempat saya lihat ketika tinggal di Ende maupun Maumere. Saya baru tahu sekarang. Bahwa kapal-kapal dagang ini berasal dari Pulau Rajuni. Menurut, Daeng Erang dari Rajuni ke Flores ditempuh sekitar dua hari. Jarak yang sama seperti dari Rajuni menempuh ke Makassar.
Ketika di Makassar saya sempat jalan ke salahsatu pelabuhan tradisional. Banyak kapal dagang. Di sepanjang pinggiran jalan banyak yang berjualan ikan kering. Ukurannya besar-besar. Ikan kering ini berasal dari Pulau Rajuni.
Di Makassar, Daeng Erang menjual ikan kering kerapu, sunu, ketamba dan sindrili. Ikan kering ini harganya bisa menyaingi harga daging sapi. Ia menjual ikan kering kakatua, dan ange ke lombok dengan kisaran 11 hingga 15 ribu rupiah. Sementara untuk Flores ia menjual ikan kering boronang, tenko dan malaya. Kapal dagang miliki Haji Daeng Erang baru berlayar ketika muatan barangnya sudah mencapai satu hingga dua ton lebih.
Siang itu, beberapa pack ikan kering sudah tersusun rapi. Daeng Erang juga mengangkut jemuran ikan keringnnya. Tak jauh dari rumahnya, ada satu gubuk yang disulap menjadi dapur. Tempat perebusan ikan-ikan kering.
Ikan kering menjadi usaha masyarakat di Rajuni. Ikan kering memberikan penghasilan halal ketimbang menebang bambu laut. Usaha pengeringan ikan kering tidak melanggar aturan kawasan taman nasional.
Tak jauh dari Rajuni, ada satu pulau kecil, Tinabo. Pasir putih. Di sini tak ada penduduk. Bangunan satu-satunya hanya pos jaga taman nasional. Airnya jernih sekali. Saya menyempatkan diri untuk berenang. Tergoda untuk mencicipi pasir dan air lautnya. Senja mulai jatuh dari langit. Sulit menemukan pemandangan seperti ini. Malam bulan purnama. Cahayanya memberikan sejumput kehangatan.
Kembali ke Selayar
Rabu, (3/03), ini kami mesti melanjutkan perjalanan lagi. Kembali ke Bira. Naik feri menuju Bau-bau. Kami mesti meninggalkan kepulauan Takabonerate.
“Dari Flores nanti kita kembali lagi ke Takabonerate,” kata Farid Gaban. Ia masih tergoda untuk menyelam. Pada musim barat, kawasan taman nasional Takabonerate menutup kegiatan penyelaman. Karena arus dan gelombangnya sangat kuat.
“Tapi saya lurus langsung ke Bali,” kata saya sambil tersenyum. Begitu banyak tempat yang kami singgahi memang sangat menggoda. Tak cukup hanya menghabiskan waktu satu atau dua minggu.
“Saya tertarik untuk bikin buku,” kata Farid Gaban bersemangat.
Dari Rajuni kami naik kapal nelayan. Tak ada muatan. Mereka hendak ke Bulukumba. Kami dan beberapa petugas dari taman nasional naik kapal ini. Laut sangat tenang. Tak ada gelombang sama sekali. Angin juga berhembus sangat pelan. Kondisi ini sangat berbeda ketika hari sebelumnya.
Namun laju kapal ini sangat lamban. Seperti jalan siput. Kapal naik jangkar pada pukul 10.00 pagi dan tiba di Selayar pada pukul 18.00 sore hari. Kapal mengikuti pantat sebuah kapal pinisi. Kapalnya berukuran besar. Menggunakan mesin. Namun kapal ini memiliki sebuah layar berwarna biru.
Saya melihat kapal pinis itu. Dan membayangkan berada di atas kapal itu. Memandang layarnya. Dan duduk di depan geladak kapal. Seperti kisah para petualang laut. Mengembara di laut perairan Nusantara.***
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 You can leave a response, or trackback.