Bambu Laut, Janda Kompresor, dan Ikan kering
Posted by in CatatanOleh Ahmad Yunus
Klakson feri di Pelabuhan Bira menyalak. Kami bergegas masuk. Truk dan beberapa bis terlihat di dalam perut feri. Ombak terasa kuat. Beberapa kali badan feri terasa bergetar. Angin pada musim barat terasa kuat. Sekitar dua jam berlayar. Akhirnya, kami tiba di Pelabuhan Pamatatta, Pulau Selayar,
Penumpang dan kendaraan muntah dari perut feri. Selayar tengah memperluas dan memperbaiki fasilitas pelabuhan ini. Dermaga tampak segar. Bantalan karet penahan kapal masih empuk. Pelabuhan ini titik keluar-masuk barang dan penumpang dari Selayar maupun dari Bira. Pelabuhannya memiliki dua dermaga. Tak banyak kegiatan di pelabuhan selain keluar-masuk kapal feri. Kapal-kapal tradisional milik nelayan maupun pengangkut barang terlihat bersandar.
Dari Pamatatta menuju Benteng sekitar satu jam. Jalan kecil. Meliuk dan menyusuri pesisir pantai. Banyak kebun kelapa. Tak ada transportasi umum dari pelabuhan ke jantung kota pulau ini. Selain ikut di bis atau truk yang turun dari feri.
Benteng adalah ibukota kabupaten Pulau Selayar. Kota kecil menghadap laut. Pasar umumnya kecil. Masih banyak deretan rumah panggung dari kayu papan. Jalan utama bersih. Mungkin mirip jalan perumahan di Bandung atau Makassar. Tak ada kemacetan. Satu dua kendaraan mobil. Sisanya oleh sepeda motor dan becak.
Ical dari Coremap menjemput dan membawa kami untuk minum teh hangat. Berbicara soal perjalanan kami dan rencana di Selayar maupun kawasan Taman Nasional Laut Takabonerate. Kami bergabung dan mendapatkan tumpangan gratis di sekretariat Coremap. Rumah panggung dari papan kayu. Tak ada meja. Kebanyakan pemuda seusia saya.
Dua hari kami mempersiapkan dan mengumpulkan informasi mengenai Selayar dan Takabonerate. Mulai dari akses transportasi laut, jaringan di pulau hingga isu soal Selayar dan Takabonerate. Ini membantu agar kami mengenal kehidupan dan kawasan di sini. Dan kemudian menajamkan isu yang hendak kami tulis.
Selayar dan Takabonerate adalah kawasan kepulauan yang terletak di ujung bagian selatan Sulawesi. Kepulauan ini sangat penting bagi Indonesia. Dan kehidupan biota laut dunia. Di sini ada sekitar 220 hektar kawasan atol. Dan merupakan kawasan ketiga terbesar di dunia. Takabonerate bagian dari titik segitiga terumbu karang di Indonesia. Garisnya hingga di Papua dan kepulauan Alor-Flores.
Melihat Takabonerate tak hanya melihat sebagai wilayah konservasi saja. Wilayah yang kaya dengan berbagai species biota laut. Namun melihat Takabonerate juga melihat celengan Indonesia di masa depan. Menghitung kekayaan alam yang bernilai ekonomis.
Namun bagaimana wajah kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam kawasan? Masyarakat yang jauh dari hiruk pikuk wacana isu konservasi dan kepentingan ekonomis-politis bagi Indonesia.
Kami naik ojek dari Benteng menuju Pelabuhan Patumbukkan di bagian selatan Pulau Selayar. Jalan kecil. Sisi kiri hutan bambu dan kelapa. Sisi kanan hamparan laut. Rencananya kami akan ikut keliling menggunakan kapal patroli taman nasional. Dari Benteng kami berangkat pukul 07.00 pagi, Rabu (24/02). Tiba di Patumbukkan jam 08.00 pagi. Rencana berangkat menuju kawasan pada pukul 09.00.
Patumbukkan adalah pelabuhan kecil. Satu dermaga. Sisi kiri kanan tumbuh pohon bakau alami. Di tepian dermaga banyak ikan. Tinggal melempar jaring dan kail sudah cukup untuk lauk pauk makan.
Di ujung dermaga terlihat pedagang kecil. Menjual rokok, minuman mineral dan lontong. Ojek dan angkutan desa menunggu kedatangan feri dari Labuan Bajo ke Bira. Saya baru tahu ini salahsatu transit feri dari Pulau Flores. Labuan Bajo terletak di bagian ujung barat Pulau Flores. Ini salahsatu kawasan pariwisata bahari. Terkenal untuk wisata menyelam dan melihat Komodo.
Asik melihat riang wajah penumpang yang turun dari feri. Seperti menemukan kebebasan dan kemerdekaan setelah letih berhari-hari di laut lepas. Melakukan perjalanan di atas laut memang cepat bosan. Tak ada pemandangan selain laut. Dan perilaku penumpang sendiri. Sisanya melewati dengan tidur dan makan mi rebus.
Kapal patroli sudah ada. Awak kapal belum menarik jangkar kapal. Kami menunggu dengan beberapa petugas lapangan taman nasional. Namun hingga siang hari kapal belum berangkat. Kami melewatinya dengan berdiskusi di dalam kapal.
Kawasan Takabonerate sekitar 5500 hektar. Membentang dari Pulau Tinabo, Rajuni, Jinato hingga Pasitullu. Pulau ini kecil dan tak ada dalam peta besar. Taman Nasional Takabonerate mengandalkan dua perahu untuk mengawasi seluruh kawasan.
Kapal kayu dengan dua mesin pabrikan Yanmar. Mesin yang relatif irit untuk menghabiskan satu jerigen solar. Ini berbeda dengan pabrikan mesin besar yang menengak Solar lebih cepat. Seperti pabrikan dari Yamaha, Honda maupun Suzuki. Pabrikan ini tak hanya memproduksi sepedamotor. Namun ikut menyerbu produksi mesin-mesin kapal.
Kapal milik taman nasional dirancang untuk mengangkut penumpang maupun barang. Tak cukup lincah untuk bergerak mengelilingi kawasan seluas itu. Apalagi menguber kapal-kapal yang melakukan kegiatan ilegal dalam kawasan taman nasional. Seperti mengambil ikan dengan bom maupun menyebar racun hingga ikan mabuk.
“Ada ratusan ton bambu laut yang keluar dari kawasan. Ini tidak boleh dilakukan karena di dalam wilayah konservasi” kata Edi Pranoto, salahsatu petugas polisi kehutanan. Kami mengenalnya ketika ia duduk dengan petugas lapangan lainnya di Pulau Rajuni. Di sebuah kolong rumah kayu dekat pengrajin ikan kering.
Kami mendengar bahwa kasus bambu laut tengah marak sejak di Selayar. Ketika kami menghabiskan satu malam menginap di atas kapal patroli. Kapal ini akhirnya berangkat hari Sabtu dan tak mungkin kami ikut bersama mereka. Karena terlalu lama dan kami harus bergerak masuk untuk melihat pulau di dalam kawasan.
Kami memutuskan untuk menyewa kapal dagang yang berlabuh tak jauh dari kapal patroli. Kapal ini bermuatan sekitar lima hingga 10 ton. Kami terpaksa mengeluarkan uang cukup besar. Sekitar 1,4 juta menuju Pulau Jinato. Kami tidak tahu persis berapa lama untuk mencapai pulau ini.
Masyarakat yang tinggal di kepulauan memang mengandalkan perahu mereka sendiri. Tak ada jadwal yang pasti keberangkatan kapal-kapal ini. Termasuk kapal khusus penumpang. Pemerintah tak menyediakan kapal penumpang khusus untuk melayani pulau-pulau kecil ini.
Menuju kepulauan Takabonerate butuh tenaga dan mental. Apalagi saat musim barat tiba. Saya baru mengenal musim barat. Saya orang gunung dan tinggal di Bandung yang jauh dari laut. Musim barat angin berhembus sangat kuat. Hingga berjam-jam. Ibaratnya, laut tengah birahi. Ombak bergelora. Kapal-kapal kecil ciut dan menepi. Musim barat berlangsung dari Desember hingga bulan akhir bulan ketiga pada Maret.
Kapal yang kami tumpangi berangkat pada Kamis, (25/02) pagi. Laut di dermaga tenang. Namun angin mulai berhembus kuat. Kapal bergerak menuju Pulau Kayuadi. Dari kejauhan terlihat puncak gunung. Kami duduk di bagian atas atap kapal. Kapten menjaga kemudi kapal berupa tongkat panjang. Dan sebuah tali gas yang diikatkan pada badan kapal. Kami tidak tahu persis kalau tali gas tiba-tiba putus dan mesin sulit dikendalikan.
Ombak memang langsung bergelora. Kapal goyang membanting sisi kiri dan kanan. Saya berada disamping kapten. Goyangan kapal terasa kuat. Beberapa kali harus menahan pantat agar tidak loncat dari badan kapal. Kapal semakin mendekat memasuki Pulau Kayuadi. Kami kagum dengan warna laut di kepulauan ini. Berwarna biru tosca. Jernih. Batu-batu dan pasir putih terlihat jelas.
Pulau ini berada di luar kawasan taman nasional. Kapal hanya mengantarkan satu orang yang membawa sepeda motor baru. Di pulau ini kami sempat mencicipi sinyal telephone seluler. Sedikit hiburan untuk mengirimkan kabar melalui sms.
Dari Kayuadi langsung bergerak menuju Pulau Jinato. Ombak laut semakin kuat. Namun, kapal “perang” kami cukup kokoh menahan gempuran ombak. Mesin menderu memutarkan gardan dan baling-baling kapal. Sekitar dua jam lebih kami bertahan dalam gempuran ombak ini. Sinar matahari sangat terik.
Angin dari yang berhembus dari arah Barat semakin kencang. Arus laut terlihat kuat. Kapal tak bisa berlabuh di dermaga kecil Jinato. Kapal memutar dan menuju bagian belakang pulau yang arusnya relatif lebih tenang karena terhalang oleh daratan. Memutarkan kapal dan melawan arus membuat goyangan kapal semakin kuat.
Kapal menabrak dan melawan arus. Cipratannya naik hingga ke atap. Dan membuat tas, jaket dan pakaian kami basah. Biru tosca membentuk seperti cincin. Pasir putih. Deretan kelapa. Dan rumah-rumah kecil milik nelayan. Menjadi penyejuk setelah lelah bertahan dalam gempuran ombak.
Kami harus adaptasi kembali dengan kondisi perjalanan laut. Setelah dua bulan terakhir istirahat dan kembali ke Bandung dan Jakarta. Sekitar pukul 15.00 sore akhirnya kami tiba di Pulau Jinato. Kami loncat dari kapal dan berjalan kaki di pasir putih.
Seratus kapal milik nelayan berjejer rapi. Dua tiga rampon milik nelayan. Beberapa nelayan terlihat tengah mengecat kapalnya. Dan memberikan dempulan di bagian badan kapal.
Musim barat membuat kapal-kapal ini tiarap. Dan nelayan menghabiskan waktunya istirahat dan memperbaiki kapal-kapalnya.
Wajah Pulau Jinato
Pulau Jinato sangat kecil. Ada sekitar 300 kepala keluarga yang mendiami pulau ini. Kebanyakan Suku Bugis dan bekerja sebagai nelayan maupun pedagang kecil. Dua bangunan sekolah; dasar dan menengah. Sisanya bangunan desa, masjid, lapangan sepakbola, rumah nelayan, dan penyulingan air laut. Cukup satu jam untuk berkeliling pulau ini. Di ujung pulau juga bisa melihat puluhan burung camar.
Masyarakat mengandalkan air hujan untuk cadangan tambahan air tawar. Rumah nelayan memasang selang dan jerigen untuk menampung air hujan.
“Tapi pulau ini masih lumayan ketimbang pulau lainnya. Air tawar di pulau tak begitu terasa asin,” kata salahsatu warga, Taha yang memberikan tumpangan untuk tidur dan makan buat kami. Kami tidur di ruang atas. Lantainya dari papan kayu. Atap rumah dari seng. Jika siang hari terasa panas. Dan kami memilih untuk istirahat dan tidur di bawah pohon besar.
Sehari-hari Taha bekerja sebagai pedagang. Ia menjual beras. “Namun seringnya dibayar berbulan-bulan. Keuntungannya kecil, “ katanya. Satu karung beras seberat 25 kilogram dibandrol sekitar 175-180 ribu rupiah. Tak ada pekerjaan lain selain menjadi nelayan dan pedagang. Tanah di pulau ini tak cukup untuk lahan berkebun. Jagung tumbuh kecil. Daunnya kering kurang air dan nutrisi.
“Bambu laut memang lagi marak. Petugas memang melarang untuk mengambil bambu laut. Tapi bagaimana dengan masyarakat di luar kawasan? mereka sering masuk dan langsung keluar dari kawasan,” katanya.
Saya melihat gubuk-gubuk kecil dekat bibir pantai. Karung-karung penuh dengan bambu laut. Limbahnya terlihat menumpuk dan mengeluarkan bau anyir. Kapal tinggal mengangkut karung-karung. Kawasan konservasi taman nasional memang memiliki aturan yang memperbolehkan dan melarang untuk mengambil sesuatu dari kawasan. Aturan ini juga mengatur cara pengambilan yang diperbolehkan. Bambu laut belum masuk biota yang dilindungi.
“Mereka bawa linggis dan palu. Kemudian bongkar karang untuk mengambil bambu laut. Itu jelas merusak. Merubah ekosistem cagar alam, ” kata Edi Pranoto. Apalagi, menurutnya, pengambilan bambu laut dalam jumlah yang besar. Diperkirakan ratusan ton bambu laut sudah dipanen dari dalam kawasan. Berapa besar luas kerusakan karang-karangnya.
Kawasan Takabonerate tumbuh subur bambu laut. Menurut pelacakan petugas taman nasional, harga satu kilogram bambu laut basah sekitar 2500 rupiah. Bambu laut digunakan untuk bahan dasar obat dan keramik. Namun belum jelas kemana bambu laut ini mengalir.
Dari Jinato kami sempat melihat pulau kecil, Lantigiang. Menyewa perahu nelayan. Di Lantigiang tak ada penduduk. Beberapa pohon kelapa tumbuh namun buahnya tak subur. Pasir putih membentang. Pasirnya halus. Lembut di kaki. Batu dan karang kecil mengelilingi pulau.
“Namun rusak,” kata Farid Gaban yang sempat snorkeling. Kami jalan mengelilingi pulau. Sampah berupa botol berserakan di bibir pantai. Dan merusak pemandangan. Pulau kecil sering disinggahi oleh kapal-kapal layar asing. Sekedar melepas lelah dan berenang. Penduduk lokal juga menghabiskan waktu liburnya dengan makan bersama di pulau ini.
Farid Gaban menyelam dengan pemilik kapal. Menggunakan kompressor. Namun, saya melihat kompressor yang digunakan bukan kompressor yang digunakan untuk mengisi angin di tempat tambal ban. Mesin kompressor dari mesin heller. Selang mengambil angin dari buangan mesin.
“Saya sakit tenggorokan. Baunya juga gak enak,” kata Farid Gaban. Saya terkekeh saja. Dia tak awas dan langsung menyebur ke laut. Memasang selang di mulutnya. Nelayan menggunakan kompressor untuk mencari teripang. Atau memasang bubu di dasar laut. Dengan kedalaman 10 hingga 30 meter. Kompressor memang bukan alat untuk membantu penyelaman. Banyak korban akibat kompressor dan penyelaman liar macam ini. Mulai dari kematian hingga lumpuh.
Kami melihat praktik penyelaman liar dan berbahaya seperti itu. Mulai di kepulauan Mentawai, Karimata dan terakhir di pulau Jinato ini. Nelayan tak punya pilihan, modal dan pengetahuan tentang tata cara penyelaman yang benar. Menyelam butuh pendidikan khusus. Tabung oksigen dan baju yang khusus. Penyelamanan termasuk kegiatan ekstrem. Apalagi dilakukan dengan menggunakan kompressor.
Namun rekan saya, Farid Gaban tetap mencoba menyelam menggunakan kompressor. Ia tahu risiko dan praktik penyelaman seperti itu tidak benar. Bahkan pemberat penyelaman juga menggunakan besi rantai! Tapi Farid Gaban memang nekad. Sulit untuk membendung agar ia tak melakukan penyelaman seperti itu.***
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 You can leave a response, or trackback.