Header image

Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa Farid Gaban dan Ahmad Yunus

Posted by asep in Zamrud di Media

Oleh Deden Rosanda, Batam

Ambisi menjelajahi 100 pulau di Indonesia, membawa Farid Gaban dan Ahmad Yunus ke Batam. Pulau seluas 415 kilometer persegi ini masuk dalam agenda Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa yang mereka lakoni. Kemarin, dua jurnalis berpengalaman itu mampir ke redaksi Batam Pos. Cerita apa saja yang mereka bagikan?

Farid dan Yunus tiba di Graha Pena Batam, Batam Centre sekitar pukul 17.50 atau beberapa menit jelang buka puasa. Ia didampingi Pemimpin Redaksi Batam Pos, Hasan Aspahani dan Sulton, wartawan Posmetro Batam. Di ruang rapat redaksi berukuran kurang lebih 5 x 10 meter itu, Farid menceritakan misi perjalanan mereka.

”Kami ingin mengenal Indonesia lebih dekat, meliput, meriset, memfoto dan mengambil gambar untuk video dokumenter hal-hal yang berkenaan dengan seni-budaya, ekonomi-sosial serta lingkungan,” kata Farid, yang petang itu mengenakan kaos oblong hitam, jeans dan sandal gunung abu-abu hitam ini.

Sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia, Indonesia yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau, memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Negeri ini punya kekayaan alam, baik darat maupun laut. Itu yang mendorong Fari-Yunus ingin mengenal lebih dekat negeri mereka sendiri.

Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa yang tanpa dukungan sponsor ini dimulai akhir Mei lalu dan ditarget selesai Desember 2009. Perjalanan ditempuh dengan sepeda motor trail. Farid-Yunus melengkapi motornya dengan GPS tracker (geopositioning sattelite) dan backpacking/camping untuk menyusuri pulau-pulau besar.

Jika memungkinkan, mereka menaikkan motor tersebut ke kapal untuk menjelajahi pulau-pulau kecil. Namun, kalau bertemu medan atau wilayah yang sulit dijangkau, dua lelaki yang ”“sama gilanya” ini terpaksa jalan kaki dan menumpang kapal nelayan.

Akan ada 100 pulau mereka singgahi. Di awali dari Sabang, tim ini melanjutkan perjalanan ke beberapa wilayah di Sumatera, seperti Bangka-Belitung, Palembang, Bengkulu, Banda Aceh, Pulau Weh, Lhokseumawe, Teluk Kiluan, Lampung dan Dumai.

Saking banyaknya pulau dikunjungi, wartawan yang pernah meliput perang Bosnia tahun 1992 ini sampai lupa Batam pulau ke berapa mereka singgahi.

”Waduh, sudah nggak ingat saya,” katanya sambil memegangi kepala.

Di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), ada beberapa wilayah yang akan mereka kunjungi. Selain Batam, mereka juga akan bertandang ke Bintan (Tanjungpinang), Lingga, Dabo Singkep, Anambas, Natuna dan Tambelan.

”Harus ke Lingga. Pulau itu penuh catatan sejarah,” kata Hasan Aspahani memberi masukan.

Farid menyambut hangat masukan itu. Apalagi ia juga ingin menggali informasi dari tempat-tempat bersejarah di Kepri, termasuk mengenal sosok Raja Ali Haji, sastrawan Melayu yang piawai menguntai kata-kata.

Petang itu, Farid sempat bercerita tentang hal-hal baru dan pengalaman berharga yang mereka dapatkan dari beberapa daerah yang mereka singgahi. Di Teluk Kiluan, Lampung misalnya, dou jurnalis itu menyaksikan indahnya terumbu karang dan tarian lumba-lumba. Namun saat dari Dumai ke Batam, mereka menyaksikan bagaimana payahnya kinerja aparatur di lapangan.

Oknum petugas meminta uang kepada pemilik kapal-kapal pengangkut bahan kebutuhan. Bukan sekali, tapi ada yang dimintai sampai empat kali. ”Itu realitas. Uang pungli tersebut tentunya akan dibebankan ke konsumen. Ini yang membuat harga kebutuhan selalu mahal,” tukasnya.

Dalam perjalanannya itu, Farid-Yunus juga menemukan potret asli kehidupan warga Indonesia yang masih digelayuti kemiskinan. Kata dia, ada yang salah dengan negara kita. Kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah misalnya, tidak berpihak pada masyarakat kecil. Sektor kelautan, tidak pernah digarap serius. Padahal luas Indonesia 70 persennya adalah lautan.

Belum lagi soal hutang negara yang menumpuk. Menurut dia, hutang itulah yang akan selalu menyengsarakan rakyat Indonesia. ”Bangkir korup yang nikmati hutang luar negri, masyarakat yang harus membayarnya lewat kebijakan subsidi BBM dan sebagainya,” kata lelaki bertubuh ramping itu.

Hasan Aspahani sempat tanya ke Farid. Bisakah Indonesia menjadi negara besar, lebih besar dari Malaysia dan Singapura? Menurut Farid, jika pembandingnya pendapatan per kapita, bisa. Hanya saja, menjadi negara besar bukan cuma perkara income, melainkan mental warga, terutama aparatur negaranya.

”Kalau melintas di Selat Melaka, saya tidak malu menjadi orang Indonesia. Sekalipun secara ekonomi, bangunan dan teknologi mereka jauh lebih maju. Tapi kalau ingat prilaku aparat kita yang sering minta uang, wah itu yang sering bikin saya malu,” ujarnya.

Tanpa terasa, obrolan selama kurang lebih setengah jam itu makin hangat. Namun, diskusi harus dihentikan karena azan berbuka puasa telah tiba. ***

You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 You can leave a response, or trackback.

2 Responses

  • wanti says:

    asw. mas bolehkah sy minta ijin publikasikan untuk koran dinding ttg pulau yg mas liput.. bagaimana ijinnya. TK mudah2an bermanfaat untuk anak sekolah.

  • Farid Gaban says:

    Wanti,
    Silakan. Isi website ini bersifat copy-left. Boleh disalin dan digunakan untuk kepentingan publik tanpa izin maupun ongkos. Anda hanya perlu menulis sumbernya dan alamat website kami. Terima kasih

    Farid Gaban



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>