Header image

Pesona Indonesia Dalam Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa

Posted by asep in Zamrud di Media

Oleh Nurul Hayat, Pontianak

Selama perjalanan, Farid dan Yunus mengendai kendaraaan sendiri-sendiri. Yunus mengendarai Honda Win 100CC buatan tahun 2004 sedangkan Farid Gaban Honda Win 100CC buatan 2000.

Kedua motor itu telah melintas di aspal hotmix, sungai, bukit, jalan tanah serta naik kapal rotan, kapal sayur, feri penyeberangan, dan kapal perintis.

Sepeda motor itu juga dilengkapi dengan GPS tracker (geopositioning sattelite), sehingga perjalanan bisa dipantau secara “live” dari Jakarta.

Menurut Farid, bahan riset, reportase dan wawancara yang terkumpul dari lapangan sebagian langsung ditulis dan diunggah ke situs. Sebagian lagi dikirim dalam bentuk digital dan “hard copy” ke kantor pendukung di Jakarta.

Karena itu, peselancar di dunia maya akan selalu dapat mengikuti perkembangan ekspedisi mereka. Setiap tiba di suatu tujuan yang terdapat akses internet, baik Farid maupun Yunus selalu mengirim kabar terbaru dari perjalanan itu.

“Sejauh ini yang bisa kita lihat, sederhana. Indonesia ini fantastik,” kata Farid Gaban.

Wartawan senior itu mengatakan, Indonesia sangat kaya, tetapi karena tidak diurus pemerintahnya, akhirnya rakyat hidup dalam kesusahan dan kemiskinan.

Kekayaan alam memang ada dan berlimpah di mana-mana. Namun sebagian penduduk Indonesia hidup miskin. “Di satu sisi kita lihat keindahan, tetapi di sisi lain kita juga lihat kesedihan dan kemiskinan,” katanya.

Farid Gaban dan Ahmad Yunus melakukan ekspedisi sejak akhir Mei dan kini sudah masuk bulan keenam. Ekspedisi direncanakan akan berakhir pada Desember 2009. Tetapi diperkirakan akan molor karena persoalan pembiayaan dan peralatan liputan yang rusak saat di perjalanan.

“Saya sudah berjanji kepada keluarga, perjalanan ini akan berakhir Desember. Januari balik ke Jakarta,” katanya. Jika pun belum selesai, akan disusun jadwal baru setelah itu, kata mantan Redaktur Pelaksana Majalah Tempo 2000-2004 itu.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan jadwal molor. Kesulitan dengan biaya dan peralatan yang rusak. “Di luar itu tidak ada kendala,” katanya.

Ketika berada di Mentawai, perahu yang mereka tumpangi terbalik, sehingga kamera Nikon D50 rusak. Alat itu penting untuk dokumentasi selama perjalanan. Sehingga mesti menunggu penggantian kamera baru dan membeli Nikon D40 bekas. Kedua orang tersebut mesti bertahan lebih lama di Pontianak, sekira 3 minggu.

Perjalanan tersebut juga tanpa sponsor. Farid menjual hak cipta dari empat bukunya. “Saya pun minimal sekali,” katanya lagi. Mereka berharap ketika berada di Aceh sudah dengan motor baru. Tetapi itu agaknya hanya angan-angan.

Perjalanan itu dirancang dengan anggaran Rp500 ribu perhari. Untuk peralatan dan motor sudah menghabiskan Rp100 juta. Tetapi kenyataannya lebih kecil. Karena iritnya biaya perjalanan, kalau tidur di hotel mesti dengan tarif termurah Rp250 ribu semalam.

Tetapi sejak dari Pontianak, mereka tidak lagi tidur di hotel, sekretariat organisasi, musola, dan rumah-rumah penduduk, karena sudah punya tenda. Tenda itulah yang kemudian mereka dirikan saat bermalam dalam perjalanan Pangkalan Bun-Palangkaraya-Banjarmasin.

Saat menyusuri pantai Sumatra, mereka masih dengan motor yang sama, dibawa serta naik ke ferry yang mengangkut rotan untuk sampai ke Mentawai. Saat berada di Mentawai, kehabisan uang karena tidak ada mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Mereka juga menumpang kapal sayur, kapal perintis ke pulau-pulau di kawasan itu.

Peralatan sangat penting dalam perjalanan tersebut. Mereka berbekal laptop, kamera Nikon D40, kamera Video Sony HC52E, Nikon E80, dan Canon C10. “Peralatan yang penting, karena tujuan perjalanan ini untuk meliput,” kata Farid. Ia mengharapkan dalam perjalanan itu ada sponsor. Tetapi untuk kamera saja mereka mesti beli sendiri.

Sementara saat berada di perjalanan, baik Farid maupun Yunus menjadi kurang produktif menulis. Padahal mereka memerlukan dana untuk perjalanan. Yunus menyatakan ia mencoba memaksakan diri untuk tetap menulis dalam kondisi apapun. Di atas kapal, di benteng, dan lain-lain.

Kedua orang tersebut mengaku senang dan bahagia bisa menceritakan pengalaman perjalanan melalui website dan dibaca banyak orang. “Dari membaca web mereka senang. Jadi tahu sesuatu,” kata Yunus.

Apa yang menjadi awal munculnya ide melakukan perjalanan tersebut?

Ini diawali keinginan Farid Gaban hendak mengikuti ekspedisi Kapal Pinisi dengan rute yang hampir sama. “Tetapi bertele-tele. Akhirnya saya berpikir, sendiri saja,” kata Pemenang “The Asia Foundations Fellowship”, Amerika, 1998 tersebut.

Tetapi teman-temannya memberikan saran agar tidak pergi sendirian. Beberapa kandidat diajukan. Yang paling siap dan bersemangat ternyata seorang wartawan lepas, Ahmad Yunus. “Kebetulan kami pernah kerja bareng di Maumere,” katanya.

Farid pun bersyukur bisa menjadi sebuah tim yang kompak dengan Ahmad Yunus. Karena di antara mereka berdua, tidak terlalu banyak perbedaan saat di lapangan.

“Itu penting, karena jika tidak mau tidur di tempat yang sama, akan susah,” kata wartawan yang pernah meliput perang Bosnia 1992 itu.

Ia menyatakan, sewaktu-waktu mereka tidur di lantai, di kapal kecil, rumah penduduk, sekretariat organisasi pers, musola, dan emperan warung di pedalaman.

Jika pun menginap di hotel, dengan sewa kamar murah. “Saya menemukan teman perjalanan yang tidak banyak konflik,” katanya.

Yunus yang seorang wartawan dengan usia relatif muda, 28 tahun, cukup tahu mesin motor. Sementara Farid, mengakui tidak tahu. Yunus juga pintar masak. Saat berada di Kapal Terigas selama sepekan, dari Kepulauan Natuna menuju ke Pelabuhan Sintete di Pemangkat, Kabupaten Sambas, Yunus memasak makanan sehari-hari.

“Untuk perjalanan selama 8 bulan, kesesuaian itu penting. Kalau tidak bisa tidur di kapal, susah,” kata Farid Gaban lagi.

Selama melakukan perjalanan, kedua orang tersebut mencoba mengangkat tema-tema menarik untuk bahan tulisan, foto dan gambar bergerak untuk film dokumenter. Memotret kehidupan manusia yang selama ini tidak pernah dibayangkan.

Bertemu banyak orang

Ahmad Yunus menemukan banyak hikmah dan hal baru yang ditemukan. dari perjalanan itu. “Apa yang ditemukan itu, mengubah pandangan saya tentang pulau-pulau selama ini,” katanya. Selain itu, dia merasa banyak belajar.

Saat di Padang belajar mengenai sejarah, di Aceh mengenai konflik, di Pontianak mengenai etnis.

Mereka bertemu orang banyak, petani, nelayan, pembuat kapal, peladang berpindah, penganyam tikar dan kain tenun, dan lain-lain. “Tak aka kehabisan cerita, terlalu banyak,” kata Farid menambah.

Selama perjalanan itu, berat badan Yunus turun 3 kilogram. Sedangkan Farid Gaban, sejak dahulu orang mengenalnya dengan portur kurus, kini kelihatan agak gemuk. “Orang bilang saya lebih gemuk. Karena senang,” katanya.

Yunus mengatakan, selama ini tinggal di Bandung, Jawa Barat. Setiap detik selalu dikejar dengan deadline, menghilangkan waktu dengan diskusi. Tetapi ketika melakukan perjalanan itu, menjadi lupa hari dan lupa tanggal. Ia mendapat pengalaman baru. Mengubah persepsi dirinya, merontokan asumsi-asumsi tentang banyak hal karena selama ini tidak punya gambaran tentang orang yang tinggal di pulau.

Ketika berada di Sumatra, Yunus dan Farid tinggal di bukit. Ketika di Kalimantan mereka tinggal di pulau.

Ia mengatakan pernah mengikuti pelatihan “Counflic Sensitive Journalism” dari tingkat I hingga III, diselenggarakan Pecojon, sebuah organisasi dari Filipina yang bergerak di bidang pendidikan.

Bekal dari pelatihan itu sangat bermanfaat ketika dia melakukan perjalanan. Ia sudah merasakan bagaimana berada di kapal kecil selama tujuh hari enam malam. Dalam perjalanan dari Bangka Belitung ke Natuna dan Sintete, Pemangkat.

Menumpang kapal barang yang di atasnya ada terpal bersama 100 orang penumpang. Hanya ada dua kamar mandi, bergantian setiap harinya dengan penumpang lain. Tidur pun berdesak-desakan.

Ia pun lantas bertanya, “Pelayanan publik seperti apa yang telah diberikan negara terhadap rakyatnya?”

Kapal yang sama pula yang menumbuhkan perekonomian di pulau-pulau kecil.

Etape perjalanan mereka dimulai dari Sumatra (30 Mei - 4 Juli): Bangka-Belitung, Palembang, Bengkulu, Enggano, Sibolga, Mentawai, Sibolga, Nias, Singkil, Simeuleu, Meulaboh, Taman Nasional Gunung Leuser, Calang, Banda Aceh, Pulau Weh, Lhokseumawe, Medan, Dumai, Pulau Rupat, Bengkalis, Siak (Delta Siak), Batam, Bintan (Tanjung Pinang), Kepulauan Lingga-Singkep, Anambas, Natuna, Tambelan.

Kemudian masuk Kalimantan (12 Juli - 8 Agustus): Mempawah/Singkawang, Pontianak (Delta Kapuas), Ketapang, Kepulauan Karimata, Pangkalan Bun, Tanjung Putting, Palangkaraya, Banjarmasin (Delta Barito), Pulau Laut, Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda (Delta Mahakam), Sangatta, Berau, Tarakan, Kepulauan Derawan, Nunukan, Samarinda.

Saat ini masih terhenti di Banjarmasin. Perjalanan ternyata masih panjang, ada empat etape belum dilewati. Permasalahan logistik masih menjadi kendala. Farid Gaban juga masih terikat dengan kewajiban sebagai pengajar jurnalistik.

Sedianya pada pekan ketiga November, kedua orang itu akan kembali melanjutkan ekspedisi yang tertunda.

Etape yang belum dilewati itu, Ke Sulawesi (16 Agustus - 19 September): Mamuju, Kepulauan Spermonde, Makassar, Selayar, Bulukumba, Bira (Pangkalan Phinisi), Bonerate, Muna-Kabaena, Bau-Bau, Buton, Wowoni, Kepulauan Tukang Besi, Wakatobi, Kendari, Kepulauan Banggai, Luwuk, Cagar Biosfir Lore Lindu, Ampana, Kepulauan Togean, Gorontalo, Tondano, Bitung, Manado, Sangir-Talaud, Bitung.

Maluku-Papua (27 September - 31 Oktober): Morotai, Halmahera, Bacan, Obi, Ambon, Buru, Bandaneira, Hatta, Sjahrir, Seram, Ternate, Tidore, Buru, Kepulauan Raja Ampat, Sorong, Manokwari, Nabire, Kepulauan Biak, Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana, Kepuauan Kai, Delta Digoel, Merauke, Tanimbar, Wetar.

Nusa Tenggara (8 November - 5 Desember): Alor, Lembata, Kupang, Rote, Sawu, Larantuka, Meumere, Ende, Danau Kelimutu, Waingapu (Sumba), Pulau Komodo, Sangeang, Sumba Besar, Mataram (Lombok), Rinjani, Senggigi.

Jawa-Bali (5 Desember - 31 Desember): Denpasar, Ubud, Danau Batur, Kintamani, Singaraja, Gilimanuk, Ketapang, Banyuwangi, Sirubondo, Probolinggo, Surabaya, Madura, Kepulauan Kangean, Bawean, Gresik, Tuban, Rembang, Jepara, Karimunjawa, Semarang, Cirebon, Ciamis/Tasikmalaya, Pangandaran, Pelabuhan Ratu, Ujung Kulon, Krakatau, Banten, Kepulauan Seribu, dan kembali ke Jakarta.

Setelah mengakhiri ekspedisi zamrud khatulistiwa, kedua orang tersebut akan “membukukan” kisah perjalanan mereka baik dalam bentuk bacaan, gambar, maupun film dokumenter. Menceritakan indahnya alam 100 pulau pada 40 gugusan kepulauan dan kehidupan manusianya, yang mengundang kagum banyak pasang mata.***

You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 You can leave a response, or trackback.

4 Responses

  • fifit says:

    perjalanan yang sungguh mengagumkan!

  • Pustakawan says:

    ckckckck…..hebat

  • Ongky says:

    Oom, ada ulasan khusus soal Singkep kah ?

  • Utami says:

    Waktu masih anak-anak, saya punya buku favorit, “Tanah Air Kita: sebuah kitab tentang negeri dan rakjat Indonesia”, disusun oleh N.A.Douwes Dekker, terbitan W.van Hoeve-Bandung-Gravenhage. Sampai sekarang masih tersimpan, dengan kondisi sudah compang-camping. Dari buku ini saya punya gambaran tentang alam dan budaya, lengkap dengan foto-foto indah, yang terus terbawa dalam ingatan hingga kini.
    Semoga catatan dan renungan Farid & Yunus ini bisa menginspirasi anak-anak Indonesia, sebagaimana buku favorit saya itu.
    Salam….



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>