Farid Gaban Singgah di Batam
Posted by in Zamrud di MediaOleh Hasan Aspahani, Batam
“Di depannya, malam itu, saya jadi kecil hati bahkan untuk sekadar mengeluarkan Blackberry dari saku. Gadget mahal itu, tiba-tiba menjadi kemewahan yang tak berarti. Dia orang sangat sederhana.”
“Tadi kami tidak makan sahur,” kata Farid Gaban. Hah? Itu berarti 24 jam lebih dia dan mitra seperjalanannya Ahmad Yunus tidak makan. Sebab, sejak tiba di Batam sekitar pukul empat petang, dalam rangkaian ekspedisi jurnalistik berkeliling Indonesia, dia baru menyentuh makanan saat berbuka bersama Muhamad Nur - Koordinator Liputan Batam Pos, Pemenang Anugerah Adinegoro 2008 yang menjemputnya petang itu di pelabuhan Batuampar.
Malam itu kami mencari tempat makan yang agak istemewa. Pilihannya adalah kelong Aneka Selera di Jembatan IV. Kami makan besar. Sebuah jamuan yang layak untuk ‘orang besar’ seperti dia. Di meja restoran terapung yang perlahan naik diangkat oleh pasang laut, terhidang kepiting saos, udang goreng mentega, tumis kangkung belacan, ikan asam pedas, dan aha tentu tak ketinggalan gonggong rebus! Ini buka puasa yang terlambat. Maka, semuanya habis kami lahap berlima: dua wartawan “gila” itu, saya, Muhamad Nur dan Sultan Yohana (yang tak menyesal membatalkan acara memasak sendiri di rumahnya untuk hidangan berbukanya hari itu).
“Yunus, malam ini kita tak perlu sahur lagi,” kata Farid Gaban, bersemangat menyuap nasi, lalu membongkar isi otak di balik cangkang kepiting. Saya lihat dia dua kali menambah nasi. Sejak sebelum makan, dia bahkan sudah juga memesan kopi. Di kelong itu kami bertahan ngobrol sampai agak malam. Dari musala yang entah dimana, terdengar takbir dan salawat jamaah tarawih.
***
Ini memang sebuah ekspedisi “gila”. Seorang wartawan senior yang di Indonesia sudah lazim diketahui reputasi dan dedikasinya, ditemani seorang wartawan muda yang ideologi jurnalismenya diasah di Pantau - sebuah majalah dan kemudian menjadi komunitas penganut nilai-nilai tinggi jurnalistik.
“Semula ekspedisi ini dirancang bersama sebuah sponsor. Ketika rencana itu batal, saya bilang ke mereka, saya akan jalan meskipun tanpa mereka,” kata Farid memulai cerita. Farid adalah perencana yang handal. Ini mungkin ada kaitannya dengan latar pendidikannya. Dia kuliah mendalami kekhususan Tata Kota ITB, meskipun tidak sempat menyelesaikan penulisan skripsi yang membandingkan dua ruas jalan di Malang dan Bandung.
Maka dirancanglah ekspedisi jurnalistik yang ia bayangkan akan menyinggahi seratus pulau di Indonesia. Biayanya Rp120 juta. Semula ini akan ditutup dari uang penjualan feature hasil perjalanan itu dengan sistem sindikasi. Tapi, sistem sindikasi itu ia sadari belum terlalu lazim di Indonesia. Akhirnya hanya Republika dan Majalah Tempo yang membeli hak menerbitkan beberapa tulisnya. Tentu saja itu tak cukup untuk membiaya ekspedisi ini.
Lalu dari mana dana itu didapat? “Jual buku,” katanya. Farid betul-betul mempersiapkan diri. Ia membeli kamera mahal, notebook (di Mentawai kedua benda wajib ini tercebur ke laut dan dia harus membeli yang baru), dua motor Win 100 CC yang dirombak menjadi a la trail (tapi tetap saja paling banter hanya bisa dikebut 80 km per jam), dan dia ambil sertifikat menyelam. “Saya banyak memotret terumbu karang,” katanya.
Ya, mata kameranya dipesiapkan untuk banyak menangkap kepermaian lingkungan alam, dan dinamika manusia dan Indonesia. Sebuah penerbit sudah berkomitmen menerbitkan empat buku berisi foto-foto hasil jepretannya itu. Ia dan timnya juga berharap kelak bisa menjual hasil rekaman video dari perjalanan itu.
***
Farid Gaban sudah menjadi wartawan sejak ia kuliah di Bandung. “Saya mulai dulu sebagai reporter di Tempo Biro Bandung,” katanya. Saya mengenal namanya, menikmati, mengagumi dan belajar dari tulisan-tulisannya ketika dia bergabung dengan Republika. Waktu itu saya sudah mahasiswa. Di koran yang pada masa awal terbit membawa angin baru dalam atmosfer pers Indonesia, dia menulis kolom yang bagus. Solilokui namanya. Kelak kumpulan kolom itu dibukukan dibawah judul “Belajar Tidak Bicara”.
Di kolom itu ia menulis dengan logika yang mengejutkan, ide yang tak terpikirkan dan bahasa renyah karena sederhana. Ia misalnya menulis tentang betapa absurdnya sepatu. Ia melindungi kaki tetapi ketika memakai sepatu kita harus melindungi kaki dengan kaus kaki, sebab sepatu yang melindungi itu bisa melecetkan kaki. Malam itu saya pastikan dia memang tidak memakai sepatu, kecuali sepatu sandal.
Ia juga pernah mengadaptasi tulisan Simon Carmiggelt, kolomnis Belanda tentang peri junior yang dimarahi peri senior sebab tak bisa mengabulkan permintaan seseorang yang telah menyelamatkannya, karena permintaan sederhana “turunkan harga” harus dilakukan dengan rumitnya sistem ekonomi modern. Dia salah satu kolomnis terbaik yang pernah ada di Indonesia.
Ya, dia Farid Gaban. Dia adalah salah seorang yang diam-diam membuat saya makin yakin untuk menjadi wartawan. Dia pernah meliput di Bosnia, Afghanistan, juga Piala Dunia di Amerika. Malam itu saya bersama dia. Terus terang saya agak gugup dengan pertemuan itu. Ha ha ha. Seperti kencan pertama rasanya. Saya bertambah kagum karena ternyata betapa sederhana dan bersahajanya dia. Tubuhnya tak terlalu besar, kulitnya menghitam, pasti karena terbakar matahari selama perjalanan bermotor yang ia mulai sejak Juni 2009 itu.
“Saya mundur sebagai Redaktur Eksekutif karena saya tak setuju ketika waktu itu Republika memilih Harmoko sebagai Man of The Year,” katanya ketika saya tanya kenapa keluar dari surat kabar yang kala itu dipimpin Parni Hadi. Ia mengucapkan kalimat itu dengan nada biasa saja, tanpa kesan melebih-lebihkan, menonjolkan idealisme, atau menyombongkan diri.
Ia kemudian bergabung kembali dengan Tempo dan sempat mengomandani divisi Investigasi dan menghasilkan liputan-liputan yang sedikit mengguncang stabilitas penguasa.
Ketika ia menjadi pejabat redaksi (menjadi redaktur pelaksana), yang tak lagi banyak memikirkan liputan ia tak betah. “Saya digaji mahal tapi saya merasa saya tak melakukan apa-apa,” katanya. Padahal jiwanya adalah di lapangan. Dia terpanggil untuk meliput, melakukan reportase.
“Pekerjaan liputan masih sangat menarik buat saya,” katanya. Sungguh, jika engkau benar-benar wartawan, kalimat sederhana itu akan telak menampar jiwamu. Itu yang mungkin mendorongnya untuk menuntaskan ekspedisi yang rutin dia laporkan di situs zamrud-khatulistiwa, menyamakan dengan nama ekspedisi yang kelak berakhir Desember nanti.
***
Ada yang salah dengan Indonesia. Itulah premis yang ada di kepala Farid dan tim pendukung ekspedisinya itu. Negara dengan 17 ribu pulau ini dibangun tanpa berorientasi pada lautan. Indonesia dibangun dengan perhatian penuh pada kota dan daratan, melupakan pulau-pulau kecil dan laut dengan segala potensinya. Padahal, lautanlah yang dia yakini menyelesaikan banyak persoalan di negeri ini.
“Sebenarnya perjalanan ini kan hanya mengkonfirmasi apa yang kita yakini itu,” katanya. Dan itulah yang dia temukan.
Pedih sekali sepertinya ketika mendengar ia mengatakan, “tak ada tempat yang kami kunjungi yang tak subur. Laut kita kaya, tapi tak ada tempat yang tak ada orang miskinnya. Memang ada yang salah besar dari cara berpikir kita di Indonesia ini.”
Batam, adalah bagian dari 100 pulau yang akan dia singgahi. Dia lalu menyeberang ke Tanjungpinang, Lingga, Tambelan, Anambas, Natuna, dan lalu ke Kalimantan. Saya sangat ingin tahu apa yang kelak ia tulis tentang Provinsi Kepulauan Riau ini. Di Batam, malam itu, dia mengagumi jalan-jalan yang lebar dan mengunjungi beberapa tempat. Ia memotret kebun buah naga, dan singgah di kamp pengungsi di Pulau Galang.
***
Bagi saya, Farid adalah manusia pencinta manusia dan kemanusiaan. Ia bercerita tentang manusia-manusia kecil yang ia temui dan ia tulis dalam feature perjalanannya. Ia tak terlalu silau pada kekuasaan, dan itu sebabnya ia amat kritis pada penguasa. Ia menolak keras kenaikan harga minyak, sebab kebijakan itu hanya memikirkan orang-orang di Jakarta. Hal itu makin ia yakini, setelah melihat sendiri di Enggano sebotol bensin harganya bisa berkali-kali lipat, dan orang miskin di sana tak punya pilihan selain membeli semahal apapun.
Saya tak tahu, apakah ini keinginan lama ataukah muncul setelah ia melihat betapa suburnya tanah-tanah di negeri ini. Ketika saya bertanya apa rencananya selanjutnya, saya tertegun dengan jawabannya, “Setelah ekspedisi ini saya ingin pulang ke Wonosobo. Menetap di sana, jadi petani,” kata Farid. ***
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 You can leave a response, or trackback.
Kepada Yth.
Bpk. Farid Gaban
Zamrud Khatulistiwa
Senang sekali membaca artikel di atas, perjalanan bapak ke Batam.
Saya setuju sekali bahwa kita orang Indonesia masih banyak yang belum mengembangkan potensinya (terutama di kota-kota besar) untuk mendukung dan meningkatkan ekonomi rakyat.
Masih banyak sekali rakyat miskin di negeri ini…
Itulah sebabnya kita butuh orang-orang yang “prihatin” dan “kritis” dengan kondisi bangsa ini, serta
“terpanggil” untuk melakukan sesuatu yang positif dan berguna untuk kesejahteraan rakyat kecil.
Semoga pada waktu yang terbaik saya bisa bertemu bapak untuk berbagi cerita mengenai topik ini.
Salam,
Vivi (Ervina Martha)