Jales veva jaya mahe (?)
Oleh Farid Gaban
Perjalanan kami dari Dumai ke Batam semestinya menarik. Kami naik kapal pengangkut sayur dan buah melintasi Selat Malaka. Tak ada feri yang bisa mengangkut orang dan kendaraan sekaligus, jadi kami putuskan naik kapal barang ini.
Sepeda motor ditambatkan berbaur dengan kool, tomat, jeruk, alpokat, kolang-kaling.
Perjalanan makan waktu tiga kali lipat lebih lama dari feri penumpang: 18 jam. Dan perjalanan yang menyenangkan memang. Saya belum pernah melintasi Selat Malaka ini. Kapal buang sauh pada pukul 21 malam dari Dumai.
Kami berdua segera lelap di geladak dengan sleeping bag, setelah sepanjang siang mengarungi jalan Rantau Prapat ke Dumai yang menjemukan: di mana-mana hanya jalanan yang sedang diperbaiki serta kanan-kiri hanya ada perkebunan sawit, sejauh mata memandang jika kita diperbukitan.
[Saya bayangkan Subagian Sumatra Utara dan Riau ini akan menjadi gurun gersang setelah sawit habis].
Sebelum berangkat dari Dumai kami harus mengurus surat jalan untuk motor kami di polisi pelabuhan. Pertanyaannya macem-macem dan harus bayar mahal. “Pemeriksaan ketat karena terorisme,” kata seorang yang mengantar kami ke kantor polisi. Brewok dan cambang Ahmad Yunus sudah panjang, dan menambah kecurigaan. Saya memang melarangnya cukur brewok, biar lebih meyakinkan sebagai Yunus M. Top!
Nahkoda tidak mau ambil risiko jika surat-surat tidak lengkap. “Di tengah laut bisa jadi masalah besar,” katanya. “Jika kami harus diperiksa berjam-jam, sayur dan buah bisa busuk dan kami harus menanggung kerugian.”
Nahkoda dan awak kapalnya ramah dan baik hati. Kami dijamu makan malam dan makan sahur. Kopi dipersilakan bikin sendiri, tersedia air panas.
Pagi hari setelah sahur kami tidur lagi karena hujan. Bangun ketika matahari sudah tinggi dengan daratan di kedua sisi Selat Malaka mulai nampak.
Mendekati Johor dan Singapura mulailah hal-hal menyebalkan terjadi, meski kami sudah diwanti-wanti sebelum berangkat: patroli Selat Malaka pada bagian Indonesia sangat ganas.
Empat kali kapal kami dicegat patroli. Tim pertama adalah marinir. Mereka masih muda-muda mungkin 25-an tahun. Seperti sudah tahu sama tahu, awak kapal menyodorkan tiga lembar limapuluh ribuan ketika boat mereka merapat ke kapal kami. Satu dari mereka berdebat dengan awak kapal. Belakangan baru tahu, marinir meminta tambahan 50 ribu lagi. Setelah dipenuhi, mereka pergi.
Tak lama berselang, kapal boat Angkatan Laut mendekat ke kapal kami. Rp 150 ribu lagi berpindah tangan.
Ketika pelabuhan Singapura mulai nampak jelas, tim patroli ketiga beraksi. Kapal Polisi Laut ini sama besarnya dengan kapal kami. Kapal itu tidak mendekat, tapi memberi tanda agar kapal kami yang berbelok dan merapat. Dua kapal ditalikan jadi satu dan mereka seperti mau memeriksa seluruh kapal.
“Kenapa tidak diabaikan saja?” tanya saya pada seorang awak. “Nahkoda bisa babak belur disiksa,” jawabnya.
Sambil melihat Johor dan Singapura di seberang yang nampak gemerlap, saya merasa sedih. Bukan karena Batam di sisi lain terasa muram dan lebih miskin. Tapi, karena aparatnya yang tak punya martabat.
Polisi minta terpal penutup dibuka agar semua barang bawaan kelihatan, semua awak dan penumpang disuruh keluar dari dek. Tapi, tidak ada yang naik ke kepal kami, setelah seorang awak menyelesaikannya dengan Rp 200 ribu. Dan beres.
Tim keempat, boat polisi laut, datang setelah kami makin mendekati Batam. Rp 150 ribu lagi.
Saya lihat tidak ada awak kapal yang terkejut atau gundah. “Ini sudah biasa bagi kami,” kata seorang dari mereka. Kapal itu milik tauke China yang kaya. Konsumenlah, pembeli sayur dan buah, yang akan menanggung semuanya.
Di pelabuhan Batu Ampar, Batam, empat polisi berpakaian preman sudah menunggu kami di dermaga. Satu dari mereka berteriak mencari seorang yang memotret kapal polisi dekat pelabuhan dari kapal sayur ini, yang tak lain adalah saya sendiri. Saya minta dia naik ke kapal. Dia bertanya kenapa memotret. Saya bilang saya wartawan yang sedang keliling Indonesia dan akhirnya dia berlalu dengan baik-baik.
Dan itulah sisi lain, sisi buruk, dari laut kita yang kaya raya. Perompak sebenarnya adalah perompak berseragam. Dan itulah yang menciptakan ekonomi biaya tinggi dan mencegah orang untuk menjadi pelaut dan mencintai lautnya.***
Suara Anda