Header image

Ngebut di pantai, berlayar dengan sampan motor, snorkel, camping, off-road masuk hutan.

Enggano dikelilingi karang dengan ikan aneka ragam.

(more…)

Pulau Enggano merupakan pulau terluar dan terisolasi di Samudra Hindia, 12 jam perjalan laut dari Pelabuhan Pulau Bai, Bengkulu. Enggano berarti “keliru” dalam bahasa Portugis. Pulau ini masuk peta sejak zaman Belanda dan pernah menjadi benteng pertahanan Jepang. “Keadaan pulau ini tak banyak berubah sejak sebelum kemerdekaan,” kata Alfared (75 tahun), penasehat Suku Kaitora, suku terbesar di Enggano.

Beberapa foto di pantai barat Sumatra, perbatasan Lampung dan Bengkulu.

Oleh : Ahmad Yunus

Melinjo menjadi salah satu primadona Pulau Enggano. Produksinya sangat melimpah. Rita Parina, 43 tahun, adalah salah satu pengrajin yang membuat emping dari melinjo itu. Di halaman rumahnya, emping-emping yang masih basah itu dijemur di bawah terik matahari hingga kering.

Beberapa perempuan muda terlihat bekerja menggoreng biji-biji melinjo, memecahnya kemudian satu per satu dibikin emping. Alatnya sederhana. Satu pemukul dari kepala palu. Satu balok kayu sisanya tungku. Penggorengan tidak memakai minyak goreng. Namun, Rita memanfaatkan pasir pantai. (more…)

Oleh : Ahmad Yunus

Pohon melinjo banyak tumbuh di Pulau Enggano. Masyarakat memanfaatkan buahnya untuk membuat kerupuk emping. Dan daunnya untuk keperluan sayur. Selain melinjo ada juga pohon kakao.

Pulau Enggano termasuk subur. Tanahnya landai. Hutannya masih lebat. Pohon besar masih terlihat, seperti pohon beringin dan pohon karet. Sisanya adalah kelapa dan pinang. Hutan bakau masih alami. Kondisi jalan masih tergolong rusak. Berlumpur dan licin. Jalan aspal hanya sekitar satu kilometer. “Dari zaman kemerdekaan tidak lebih baik. Ada rumah sakit tidak terpakai. Begitu juga dengan pasar,” kata DY Alfraed, 75 tahun, Penasehat Suku Kai Tora, Dusun Meok. (more…)

Saat ini Tim Ekspedisi tengah menuju Pulau Enggano. Berangkat dengan kapal ferry dari Pelabuhan Pulau Bai, Bengkulu pada hari Kamis, 11 Juni 2009 pukul 17.00 WIB. Perjalan dengan kapal ferry ini biasanya membutuhkan waktu 12 jam. (more…)

Di Teluk Kiluan, Lampung selain dapat menyaksikan tarian lumba-lumba kita juga dapat menikmati terumbu karang. [Farid Gaban]

(more…)

Oleh: Farid Gaban

Dua hari kemarin paling melelahkan tapi menyenangkan.

Di Teluk Kiluan, Lampung, kami menginap di rumah Pak Solihin, nelayan berusia 50 tahun dan beranak empat. Rumah dia di bibir teluk, rumah yang sederhana tapi saya menyebutnya sebagai surga.

Pak Solihin ini praktis punya pantai sendiri, “kolam renang” besar tempat anak lelakinya mulai belajar menambatkan kapal, terumbu karang yang masih lestari di seberang pulau, berbagai jenis ikan yang bisa dimakan. Dan jika mau sedikit berkeringat pergi ke laut lepas Samudra Hindia, orang di sini bisa menikmati pawai dan tarian lumba-lumba-ribuan lumba-lumba pada saat yang sama. (more…)

Teluk Kiluan, Kabupaten Tanggamus, Lampung menjadi habitat ribuan lumba-lumba. [Farid Gaban]

(more…)