Header image

[Bagian 1 dari empat tulisan pengantar buku "Indonesia: Mencintaimu dengan Sederhana"]

Bagian 2: Petualangan Jurnalistik Melebur dalam Ketiadaan

Rute Perjalanan

Rute Perjalanan

“Saya bukan anak yang tumbuh dan dekat dengan laut,” kata Ahmad Yunus. “Gambaran laut dalam benak saya selalu menakutkan. Dunia yang penuh mitos dan kegetiran.”

Seperti Yunus, saya juga bukan anak laut. Yunus lahir di kaki Gunung Tangkuban Prahu, Bandung, pada 1981. Saya lahir di Wonosobo, lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah, dua puluh tahun sebelum Yunus. Bayangan saya tentang laut juga penuh dengan cerita magis yang populer di Jawa, tentang Laut Selatan yang ganas dan tempat bersemayam tokoh misterius Nyai Roro Kidul. Atau kisah tragis perburuan ikan paus dalam novel “Moby Dick” karya Herman Meville. (more…)

Oleh Farid Gaban

[Bagian 2 dari empat tulisan pengantar buku "Indonesia: Mencintaimu dengan Sederhana"]

Bagian 1: Anak Gunung Menjelajah Laut
Bagian 3: Sepeda Motor Bekas di Emper Warung

Ahmad Yunus menulis di geladak kapal

Di pulau-pulau, kami bertemu dan bergaul dengan para nelayan, mewawancara dan merekam kehidupan mereka, yang jauh berbeda dari kehidupan petani pedalaman Jawa. Kami misalnya menginap di atas bagan di Pulau Kabung, lepas pantai Singkawang, Kalimantan Barat, dan melihat dari dekat bagaimana mereka mengolah ikan asin sepanjang malam untuk dikeringkan di terik siang. Kami juga ikut nelayan Kepulauan Karimata memasang bubu di karang dan mengumpulkannya kembali beberapa hari kemudian.

Hampir di semua tempat, kami menginap di rumah-rumah nelayan. Dalam kesederhanaan hidup mereka, para nelayan ini menyambut kami dengan baik, membantu kami, serta berbagi banyak cerita tentang tradisi dan kehidupan mereka. Ahmad Yunus, yang pandai memasak, kadang membantu tuan rumah menyiapkan makan malam, menambah keakraban tersendiri. (more…)

Oleh Farid Gaban

[Bagian 3 dari empat tulisan pengantar buku "Indonesia: Mencintaimu dengan Sederhana"]

Bagian 2: Petualangan Jurnalistik Melebur dalam Ketiadaan
Bagian 4: Mengejar Pelangi Kepulauan Nusantara

Seperti di laut, petualangan darat bersepeda motor juga sama menyenangkannya. Kami masing-masing mengendarai satu sepeda motor. Kami tak seberuntung Ewan McGregor dan Charley Boorman, dua petualang yang bersepeda motor dari Skotlandia ke Afrika Selatan dalam perjalanan yang didokumentasikan BBC dengan tajuk “Long Way Down”. Mereka naik BMW Adventure, motor besar dengan kapasitas mesin 1200 cc.

Sepeda motor kami dipermak di Kalimantan

Untuk menghemat biaya semurah mungkin, kami memilih sepeda motor sederhana, Honda Win 100 cc. Itupun kami beli bekas. Sepeda motor Yunus buatan 2005, sementara yang saya kendarai lima tahun lebih tua umurnya dari itu. Kami beli di Bandung, keduanya dimodifikasi menjadi trail untuk mengantisipasi medan yang mungkin kami hadapi. (more…)

Oleh Farid Gaban

[Bagian 4 dari empat tulisan pengantar buku "Indonesia: Mencintaimu dengan Sederhana"]

Bagian 3: Sepeda Motor Bekas di Emper Warung
Bagian 1: Anak Gunung Menjelajah Laut

Kami menyebut perjalanan kami sebuah ekspedisi, Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, dengan tujuan utama mengagumi dan menyelami Indonesia sebagai negeri kepulauan dan negeri bahari. Serta melaporkannya dalam bentuk buku dan video dokumenter.

Sama sederhananya dengan peralatan dan metode perjalanan kami, gagasan berkeliling Indonesia ini juga berawal dari pikiran sederhana. Sebagian dipicu oleh rasa bersalah. (more…)

Oleh Ahmad Yunus

Dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai pulau Rote adalah serpihan jingle kampanye saat pemilihan presiden Indonesia 2009 lalu. Lagu gubahan iklan mie ini milik Susilo Bambang Yudhoyono. Dan kemudian mengantarkan SBY menjadi presiden Indonesia untuk kedua kalinya.

SBY pun memberikan janji pada pulau-pulau terluar Indonesia itu. Di pulau Miangas, ia akan membangun sebuah bandara. Pemerintahan di Jakarta juga menyetujui pembangunan sejumlah infrastruktur. Mulai dari gedung logistik, puskesmas, sarana komunikasi, sampai tangki bahan bakar minyak. (more…)

Oleh Ahmad Yunus

Sabtu pagi (13/03). Awalnya saya dengan puluhan penumpang lainnya adalah asing. Tak saling mengenal satu sama lainnya. Keadaan dan perjalanan akhirnya membuat kami menjadi akrab. Saling bertegur sapa. Berbagi senyuman. Rokok hingga makanan ala kadarnya.

Awalnya saling menjaga barang bawaan masing-masing. Waspada ada pencopet dan maling. Tapi lama-lama penumpang saling menjaga dan mengingatkan. Tapi saya tahu keakraban ini hanya sementara. Ujungnya, kami akan berpisah dan mengutuk keadaan selama di kapal. (more…)

Oleh Ahmad Yunus

Dua hari perjalanan dari Bira menuju Bau-bau. Naik kapal feri satu malam. Kemudian dilanjutkan naik speedboat menuju Bau-bau. Laut begitu tenang sepanjang perjalanan. Angin kuat yang berlangsung pada musim barat tak muncul. Seperti ketika perjalanan di Takabonerate. Angin dan ombak mengocok kapal.

Bau-bau, Pulau Buton berdetak. Banyak kapal dagang. Kami tiba menjelang sore hari. Seorang kenalan baru mengajak kami keliling Bau-bau. Jalan mulus. Naik ke puncak menuju Benteng Keraton Buton. Bentengnya rapi. Terbuat dari bebatuan karang. Benteng ini dibuat pada abad ke 16 dibawah Sultan Wolio. Dari benteng bisa melihat pemandangan Bau-bau. Hamparan laut dan deretan kapal. (more…)

Oleh Ahmad Yunus

Klakson feri di Pelabuhan Bira menyalak. Kami bergegas masuk. Truk dan beberapa bis terlihat di dalam perut feri. Ombak terasa kuat. Beberapa kali badan feri terasa bergetar. Angin pada musim barat terasa kuat. Sekitar dua jam berlayar. Akhirnya, kami tiba di Pelabuhan Pamatatta, Pulau Selayar,

Penumpang dan kendaraan muntah dari perut feri. Selayar tengah memperluas dan memperbaiki fasilitas pelabuhan ini. Dermaga tampak segar. Bantalan karet penahan kapal masih empuk. Pelabuhan ini titik keluar-masuk barang dan penumpang dari Selayar maupun dari Bira. Pelabuhannya memiliki dua dermaga. Tak banyak kegiatan di pelabuhan selain keluar-masuk kapal feri. Kapal-kapal tradisional milik nelayan maupun pengangkut barang terlihat bersandar. (more…)

Oleh: Ahmad Yunus

Jarak dari Jinato ke Rajuni tak terlalu jauh. Kapal bisa menempuhnya sekitar satu setengah jam. Namun angin kencang dan arus ombak terasa kuat. Membuat kapal setengah mati melibasnya. Kami menempuhnya sekitar dua jam. Ombak naik turun. Kami duduk di atas atap kapal. Memegang kuat untuk menjaga tumpuan tubuh. Kapal melawan arus. Cipratan air laut sempat mengenai kamera digital yang dipegang oleh Farid Gaban.

Kami berangkat dari Jinato pada pukul 10.00 pagi hari. Setelah air laut sedikit pasang. Dan tiba di Rajuni sekitar pukul 12.30. Terik matahari sangat keras. Rajuni seperti pulau lainnya di kawasan Takabonerate. Memiliki pasir putih dan laut di bibir pantai yang jernih. Di sini rumah warga tampak lebih padat ketimbang di Jinato. Ada dua suku yang mendiami pulau ini. Suku Bugis dan Bajoe. Bajoe adalah suku pengembara. Mereka tinggal di atas perahu. Dan menjalankan kehidupannya di atas laut. (more…)

Oleh: Ahmad Yunus

Bagaimana rasanya meninggalkan daratan Kalimantan? Rasanya campur aduk. Satu sisi senang karena telah selesai melewati daratan Kalimantan. Sisi lain, perjalanan ekspedisi Zamrud Khatulistiwa belumlah tamat sampai di sana. Bahkan boleh dibilang, ini titik awal untuk memasuki etafe perjalanan berikutnya: kawasan Indonesia Timur. Kawasan kepulauan yang jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang di Indonesia bagian barat. (more…)