Farid Gaban dan Ahmad Yunus memulai etape kedua ekspedisi dari Sabang, Pulau Weh, Aceh. Ujung Sebuah ujung Pulau Weh yang menjorok ke Samudra Hindia, tebing cadas tinggi yang gemuruh oleh debur ombak, dikenal dengan Kilometer Nol, titik paling barat negeri ini.
Farid dan Yunus di Sabang, Kiometer Nol
Bonjol, antara Padang dan Sibolga, terkenal berkat nama Imam Bonjol, tokoh Perang Paderi. Kota kecil ini kalah terkenal dari Sambas, kota yang sama-sama dilalui Garis Khatulistiwa.
-
-
Tugu Ekuator di Bonjol
-
-
Museum Imam Bonjol
Setelah empat hari menginap di “Hotel AJI Padang”, saatnya saya dan Ahmad Yunus melaju lagi.
[Terima kasih buat teman-teman AJI Padang, khususnya Hendra Makmur dan Sofyiardi Bachyul, atas penginapan dan diskusinya yang hangat. Terima kasih pula buat Popo dari Klub Fotografer Minangkabau untuk informasi dan diskusinya.]
Kami telah mendapatkan amunisi peralatan baru dari Jakarta (Asep Saefullah terbang ke Padang) sehingga bisa melanjutkan perjalanan lagi. Motor juga sudah diservis pada bagian busi yang bocor serta rantai yang kendor. Karat pada sebagian besar tubuh motor akibat air dan udara laut yang lembab mudah-mudahan tidak terlalu berpengaruh untuk perjalanan sampai Banda Aceh, sekitar 1.000 km.
Siang ini kami menuju Bukittinggi (menginap semalam di situ karena Yunus ingin benar berziarah ke kampung Tan Malaka), sebelum ke Pelabuhan Sibolga untuk mencapai Kepulauan Nias. Dari Nias, kembali ke Sibolga lagi untuk perjalanan darat menuju Danau Toba dan Singkil, lalu berlayar ke Pulau Simeuleu. Kami berharap bisa mencapai Banda Aceh pada pekan ketiga Juli.
Meski sebagaian besar gambar selamat dari musibah kami di Mentawai, sayang saya tidak memback-up lima feature yang sudah saya tulis, sehingga harus menulisnya ulang (mungkin di Nias nanti).
Oleh : Ahmad Yunus
Melinjo menjadi salah satu primadona Pulau Enggano. Produksinya sangat melimpah. Rita Parina, 43 tahun, adalah salah satu pengrajin yang membuat emping dari melinjo itu. Di halaman rumahnya, emping-emping yang masih basah itu dijemur di bawah terik matahari hingga kering.
Beberapa perempuan muda terlihat bekerja menggoreng biji-biji melinjo, memecahnya kemudian satu per satu dibikin emping. Alatnya sederhana. Satu pemukul dari kepala palu. Satu balok kayu sisanya tungku. Penggorengan tidak memakai minyak goreng. Namun, Rita memanfaatkan pasir pantai. Read more…
Oleh : Ahmad Yunus
Pohon melinjo banyak tumbuh di Pulau Enggano. Masyarakat memanfaatkan buahnya untuk membuat kerupuk emping. Dan daunnya untuk keperluan sayur. Selain melinjo ada juga pohon kakao.
Pulau Enggano termasuk subur. Tanahnya landai. Hutannya masih lebat. Pohon besar masih terlihat, seperti pohon beringin dan pohon karet. Sisanya adalah kelapa dan pinang. Hutan bakau masih alami. Kondisi jalan masih tergolong rusak. Berlumpur dan licin. Jalan aspal hanya sekitar satu kilometer. “Dari zaman kemerdekaan tidak lebih baik. Ada rumah sakit tidak terpakai. Begitu juga dengan pasar,” kata DY Alfraed, 75 tahun, Penasehat Suku Kai Tora, Dusun Meok. Read more…
Saat ini Tim Ekspedisi tengah menuju Pulau Enggano. Berangkat dengan kapal ferry dari Pelabuhan Pulau Bai, Bengkulu pada hari Kamis, 11 Juni 2009 pukul 17.00 WIB. Perjalan dengan kapal ferry ini biasanya membutuhkan waktu 12 jam. Read more…
Suara Anda